Transformasi digital telah secara signifikan mengubah wajah perbankan Indonesia. Penutupan kantor cabang bank menjadi salah satu dampak paling terlihat dari pergeseran ini.
Namun, alih-alih mengakibatkan PHK massal, banyak bank justru menunjukkan adaptasi yang strategis dan manusiawi. Pertanyaannya, dapatkah efisiensi dicapai tanpa mengorbankan karyawan?
Efisiensi Tanpa Korban: Menyusutnya Jaringan Kantor Cabang
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Maret 2025 menunjukkan penurunan jumlah kantor bank umum menjadi 23.734 unit. Ini merupakan penurunan 509 unit dari Maret 2024 dan 95 unit dari Februari 2025.
Tren ini mencerminkan peralihan layanan keuangan ke kanal digital. Penggunaan layanan keuangan digital semakin meningkat, didukung data survei APJII tahun 2024 yang menunjukkan lebih dari 79% pengguna internet Indonesia memanfaatkannya.
Efisiensi menjadi kunci, termasuk rasionalisasi kantor cabang yang kurang produktif. Namun, hal ini tidak otomatis berujung pada PHK massal.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan banyak bank melakukan pelatihan ulang (retraining) dan relokasi karyawan ke unit bisnis lain.
Jumlah tenaga kerja perbankan pada 2024 masih mencapai 449.738 orang, hanya turun sekitar 1,3% dari tahun sebelumnya. Penurunan ini relatif kecil jika dibandingkan dengan transformasi digital yang terjadi.
CIMB Niaga, misalnya, mengurangi jumlah cabang menjadi 397 unit pada Maret 2025 dari 407 unit tahun sebelumnya. Penurunan ini dilakukan secara bertahap tanpa PHK massal. Karyawan dialihkan ke peran baru seperti digital sales officer atau data analyst.
BNI juga melakukan hal serupa. Jumlah cabang berkurang dari 1.889 unit pada 2020 menjadi 1.779 unit saat ini. Namun, menurut Corporate Secretary BNI, Okki Rushartomo Budiprabowo, ini merupakan realokasi SDM dan peningkatan pelayanan berbasis teknologi.
Evolusi Peran Sumber Daya Manusia (SDM) Perbankan
Transformasi digital memang menggantikan beberapa fungsi manual, tetapi bukan berarti manusia tidak lagi dibutuhkan.
SDM perbankan kini bergeser menjadi digital banker. Mereka menguasai teknologi, mampu menganalisis data, dan tetap menjaga hubungan personal dengan nasabah.
Bank Indonesia menargetkan peningkatan indeks literasi digital keuangan dari 49,6% (2022) menjadi 70% (2027). Ini menunjukkan transformasi tidak hanya pada sistem, tetapi juga sumber daya manusia.
Model adaptasi perbankan ini dapat menjadi inspirasi bagi sektor lain yang menghadapi disrupsi serupa. Sektor ritel, manufaktur, transportasi, dan media juga menghadapi tantangan yang sama.
Sayangnya, banyak perusahaan masih memilih PHK sebagai solusi cepat. Padahal, pelatihan ulang, pemetaan kompetensi, dan mobilisasi internal dapat menjadi alternatif yang lebih baik.
Kebijakan Pendukung Transformasi Inklusif
Agar transformasi inklusif meluas, diperlukan inovasi kebijakan yang mendorong perusahaan untuk menghindari PHK. Pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang melakukan retraining sistematis dan mempertahankan karyawan.
Skema pendanaan bersama antara dunia usaha, asosiasi industri, dan pemerintah juga perlu dipertimbangkan untuk mendukung pelatihan lintas sektor. Pusat pelatihan transformasi digital di tingkat daerah juga dapat dibentuk.
Sistem ketenagakerjaan perlu diperkuat dengan basis data keterampilan, bukan hanya jabatan, agar perencanaan SDM lebih adaptif. Digitalisasi di perbankan bukanlah akhir pekerjaan manusia, melainkan awal peran baru yang lebih bermakna.
Perbankan Indonesia telah membuktikan bahwa transformasi manusiawi bukan utopia. Pertanyaannya sekarang bukan jumlah cabang yang tutup, tetapi kesiapan kita menciptakan peralihan peran yang adil dan berkelanjutan di era digital.
Dengan visi, keberanian, dan komitmen, kita dapat memastikan tidak ada yang tertinggal dalam perjalanan transformasi ini. Ini adalah tantangan bersama bagi sektor usaha dan pemerintah untuk menciptakan masa depan kerja yang lebih baik dan lebih bermakna.