Kasus korupsi di Badan SAR Nasional (Basarnas) kembali menjadi sorotan publik setelah kinerja lembaga tersebut dinilai kurang memuaskan dalam menangani evakuasi warga negara asing (WNA) asal Brazil, Juliana Marins, di Gunung Rinjani. Lambatnya proses evakuasi Juliana, yang ditemukan meninggal tiga hari setelah dilaporkan hilang, memicu kritik tajam di media sosial dan mengangkat kembali kasus korupsi yang menjerat mantan petinggi Basarnas. Kasus ini menjadi bukti nyata bagaimana korupsi dapat berdampak langsung pada keselamatan dan nyawa manusia.
Kegagalan Basarnas dalam evakuasi Juliana Marins menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas penggunaan anggaran dan pengadaan alat-alat evakuasi. Peristiwa ini menjadi momentum penting untuk menelisik lebih dalam kasus korupsi di Basarnas dan dampaknya terhadap operasional lembaga tersebut.
Korupsi Pengadaan Alat Evakuasi: Kerugian Negara Mencapai Rp20 Miliar
Kasus korupsi ini berpusat pada pengadaan truk angkut personel 4WD dan rescue carrier vehicle. Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan bahwa negara mengalami kerugian hingga Rp20,4 miliar.
Proses pengadaan yang bermasalah bermula dari pengajuan anggaran Basarnas pada tahun 2013. Anggaran yang diajukan mencapai puluhan miliar rupiah untuk pengadaan kedua jenis kendaraan tersebut.
Proses Pengadaan yang Sarat Kecurangan
Pengajuan anggaran dilakukan melalui rapat tertutup yang dihadiri oleh Kepala Basarnas dan pejabat eselon 1 dan 2. Setelah DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) Basarnas ditetapkan pada awal Januari 2014, mantan Sestama Basarnas, Max Ruland Boseke, diduga telah menentukan calon pemenang lelang.
Max diduga memberikan daftar calon pemenang kepada Anjar Sulistiyono, mantan Kasubdit Pengawakan dan Perbekalan Direktorat Sarana dan Prasarana Badan SAR. Anjar, bersama tim Pokja Pengadaan Basarnas, kemudian menjalankan skenario yang telah diatur sebelumnya.
Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang disusun oleh Anjar berdasarkan spesifikasi dari anak buah William Widarta, Direktur CV Delima Mandiri, tidak sesuai prosedur. HPS seharusnya disusun berdasarkan survei harga pasar, bukan ditentukan sepihak.
William Widarta kemudian mengikuti lelang menggunakan bendera perusahaan PT Trikarya Abadi Primary (TAP) dan perusahaan pendamping. Proses lelang sendiri menunjukkan adanya indikasi kecurangan seperti kesamaan IP address peserta, surat dukungan, dan dokumen teknis penawaran yang serupa antara PT TAP dan perusahaan pendampingnya.
Penetapan Tersangka dan Kronologi Pemberian Uang
Pada tahun 2024, KPK menahan tiga tersangka dalam kasus ini: Max Ruland Boseke, Anjar Sulistiyono, dan William Widarta. Ketiganya diduga terlibat dalam pengaturan lelang dan penerimaan uang.
PT TAP, perusahaan milik William Widarta, dinyatakan sebagai pemenang lelang. Setelah itu, PT TAP menerima pembayaran uang muka pengadaan truk angkut personel 4WD dan rescue carrier vehicle.
Aliran Dana Korupsi dan Pembagian Keuntungan
Pembayaran uang muka yang diterima PT TAP mencapai miliaran rupiah. Uang tersebut diduga dibagikan kepada para tersangka sebagai kompensasi atas peran mereka dalam pengaturan lelang.
Proses penyelidikan KPK menemukan bukti kuat tentang adanya aliran dana dan pembagian keuntungan di antara para tersangka. Hal ini semakin memperkuat dugaan adanya tindak pidana korupsi.
Dampak Kasus Korupsi Terhadap Kinerja Basarnas
Kasus korupsi ini menimbulkan dampak negatif terhadap kinerja Basarnas. Pengadaan alat-alat evakuasi yang bermasalah berpotensi mengganggu operasional lembaga dalam menanggulangi bencana.
Kejadian evakuasi Juliana Marins di Gunung Rinjani menjadi bukti nyata dari dampak buruk korupsi. Lambatnya evakuasi diduga terkait dengan kualitas alat-alat yang dibeli dengan anggaran yang korup.
Perlunya Reformasi dan Pengawasan yang Lebih Ketat
Kasus ini menggarisbawahi perlunya reformasi dan pengawasan yang lebih ketat di Basarnas untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa sangat penting.
Pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk meningkatkan integritas dan profesionalisme di dalam lembaga tersebut. Hal ini demi memastikan Basarnas dapat menjalankan tugasnya dengan optimal dan bertanggung jawab.
Kasus korupsi Basarnas ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga berdampak langsung pada keselamatan dan kepercayaan publik. Peristiwa evakuasi Juliana Marins menjadi pengingat penting tentang betapa seriusnya dampak korupsi terhadap kehidupan manusia. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara menjadi kunci untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa mendatang. Langkah-langkah tegas dan reformasi menyeluruh di Basarnas sangat dibutuhkan untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan keselamatan masyarakat.