Konflik antara Iran dan Israel semakin memanas, memicu kekhawatiran di kalangan perusahaan logistik global. Serangan Israel terhadap fasilitas militer dan nuklir Iran telah meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut, khususnya di sekitar Selat Hormuz. Hal ini mendorong beberapa perusahaan untuk mempertimbangkan kembali penggunaan jalur pelayaran vital ini.
Selat Hormuz, pintu gerbang penting bagi industri minyak dunia dan jalur lalu lintas kontainer menuju Pelabuhan Jebel Ali di Dubai, kini menjadi area berisiko tinggi. Ketidakpastian keamanan memaksa para pelaku industri maritim untuk mengevaluasi kembali strategi mereka.
Perusahaan Logistik Global Mulai Hindari Selat Hormuz
Laporan dari CNBC International pada Rabu (18/6/2025) menyebutkan bahwa beberapa perusahaan logistik global mulai menghindari Selat Hormuz. Jakob Larsen, kepala keamanan di Bimco (organisasi yang mewakili pemilik kapal global), mengkonfirmasi adanya penurunan jumlah kapal yang melintas di area tersebut.
Bimco, yang biasanya tidak menganjurkan penghindaran jalur pelayaran tertentu, mengakui situasi ini menimbulkan ketidakpastian. Keputusan untuk tetap melewati Selat Hormuz atau mencari jalur alternatif sangat bergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan.
Larsen menjelaskan, terdapat variasi tingkat toleransi risiko di antara pemilik kapal. Sebagian memilih melanjutkan pelayaran, sementara yang lain lebih memilih jalur alternatif untuk menghindari risiko.
Meskipun peningkatan risiko keamanan, terdapat insentif ekonomi untuk tetap melewati zona konflik. Tarif angkutan dan upah awak kapal cenderung meningkat selama periode ancaman keamanan tinggi.
Selat Hormuz: Jalur Minyak Terpenting Dunia
Selat Hormuz merupakan jalur pelayaran yang sangat penting, menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab. Jalur ini mengangkut sebagian besar pasokan minyak dunia.
Gangguan, bahkan sementara, di jalur pelayaran ini berpotensi meningkatkan harga energi global. Biaya pengiriman juga akan meningkat, dan akan terjadi penundaan pasokan yang signifikan.
Seorang juru bicara Hapag-Lloyd, perusahaan logistik asal Jerman, menyatakan bahwa meskipun tidak ada risiko langsung bagi sektor maritim, tingkat ancaman di Selat Hormuz tetap signifikan.
Hapag-Lloyd saat ini belum merencanakan perubahan rute, namun mengakui situasi dapat berubah dengan cepat. Perusahaan tersebut juga menyatakan tidak memiliki rencana untuk menghindari Laut Merah.
Potensi Kenaikan Harga dan Pasokan Minyak
Para CEO perusahaan minyak besar seperti TotalEnergies, Shell, dan EnQuest telah mengungkapkan kekhawatiran mereka. Serangan terhadap infrastruktur energi penting berpotensi berdampak serius terhadap pasokan dan harga minyak global.
Wael Sawan, CEO Shell, menyatakan keprihatinan atas ketidakpastian dan volatilitas geopolitik yang dapat mempengaruhi sistem energi global. Shell memiliki aset signifikan di Timur Tengah dan bergantung pada jalur pelayaran di wilayah tersebut.
Patrick Pouyanné, CEO TotalEnergies, memprioritaskan keamanan karyawan di Timur Tengah. Ia berharap agar konflik tidak akan berdampak pada instalasi minyak perusahaan.
Amjad Bseisu, CEO EnQuest, menggambarkan tahun 2025 sebagai tahun yang penuh volatilitas. Ia menambahkan bahwa berakhirnya konflik akan sangat menguntungkan pasar global.
Kesimpulannya, konflik Israel-Iran menimbulkan dampak signifikan terhadap industri logistik dan energi global. Meskipun beberapa perusahaan telah mulai menghindari Selat Hormuz, masih banyak yang melanjutkan aktivitasnya dengan mempertimbangkan risiko dan insentif ekonomi. Ketidakpastian yang tinggi di wilayah tersebut berpotensi menyebabkan kenaikan harga energi dan gangguan pasokan minyak dunia di masa mendatang. Perhatian terhadap keamanan karyawan juga menjadi fokus utama perusahaan-perusahaan besar di sektor ini. Situasi ini memerlukan pemantauan ketat dan strategi adaptasi yang dinamis dari para pelaku industri untuk menghadapi ketidakpastian geopolitik yang terus berkembang.