Menteri Keuangan Sri Mulyani berencana memungut pajak 0,5 persen dari total pendapatan penjual di platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, dan TikTok Shop. Sasarannya adalah pelaku usaha dengan omzet tahunan Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar. Kebijakan ini bertujuan menciptakan keadilan fiskal antara pedagang daring dan konvensional.
Pajak akan dikumpulkan oleh platform e-commerce masing-masing. Aturan baru yang akan diterbitkan bulan depan juga akan mengatur denda bagi platform yang tak memungut atau telat melaporkan pajak pelapak. Ini merupakan upaya pemerintah untuk memperluas basis penerimaan negara dari sektor ekonomi digital yang terus berkembang pesat.
Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) meminta pemerintah menerapkan kebijakan ini secara hati-hati dan bertahap. Mereka menyoroti pentingnya mempertimbangkan kesiapan UMKM, infrastruktur, serta sosialisasi yang komprehensif. idEA menekankan agar pertumbuhan UMKM tidak terhambat oleh aturan baru ini dan meminta dukungan sistem dan komunikasi yang memadai kepada para penjual.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai kebijakan ini sebagai upaya menciptakan keadilan fiskal. Banyak pelaku usaha konvensional merasa dirugikan karena mereka tunduk pada kewajiban pajak, sementara banyak pedagang online skala kecil belum tercakup. Namun, ia juga mengkhawatirkan dampaknya terhadap UMKM yang baru merintis usaha di ranah digital.
Yusuf menambahkan bahwa kebijakan ini memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan bagi pemerintah adalah peningkatan penerimaan negara. Namun, tantangannya adalah memantau jutaan transaksi digital, memerlukan sistem canggih dan koordinasi yang baik. Sosialisasi yang menyeluruh sangat krusial untuk menghindari resistensi dan kegagalan implementasi.
Bagi platform e-commerce, regulasi yang jelas memberikan kepastian hukum. Namun, mereka juga akan menanggung beban operasional untuk menyesuaikan sistem dan kemungkinan berkurangnya minat pedagang kecil. Sementara itu, bagi pedagang yang sudah tertib administrasi, kebijakan ini bisa membuka akses ke fasilitas negara. Namun, ada kekhawatiran potensi penurunan margin keuntungan akibat pajak tambahan dan kerumitan administrasi.
Dampak bagi pembeli juga beragam. Dalam jangka panjang, perbaikan layanan publik yang dibiayai dari pajak akan bermanfaat. Namun, dalam jangka pendek, kenaikan harga hampir pasti terjadi karena penjual akan mengalihkan beban pajak ke konsumen. Ini berpotensi menurunkan daya beli masyarakat.
Ciptakan Keadilan Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi Digital yang Sehat
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, mendukung rencana pemajakan ini sebagai langkah memperluas basis penerimaan negara dan memastikan keadilan fiskal di era digital. Ia menekankan pentingnya perlakuan yang setara antara pelaku usaha konvensional dan digital untuk mencegah persaingan yang tidak sehat dan memperkuat disiplin pajak nasional.
Syafruddin menyarankan pemerintah memanfaatkan teknologi digital untuk mengotomatisasi proses pemungutan pajak di tingkat platform. Dengan menjadikan marketplace sebagai pemungut pajak, bukan hanya pelapor, pemerintah dapat meminimalisir kebocoran dan memperkuat akuntabilitas fiskal. Edukasi fiskal yang luas dan sistem pelaporan yang mudah juga sangat penting.
Ia menegaskan bahwa pajak e-commerce bukan untuk mempersulit usaha kecil, melainkan untuk menciptakan sistem fiskal yang adil dan modern. Pajak ini menjadi simbol kesiapan negara menghadapi transformasi ekonomi digital. Namun, efektivitas kebijakan bergantung pada transparansi data, integrasi lintas platform, dan edukasi kepada wajib pajak digital.
Tantangan Implementasi dan Rekomendasi
Implementasi kebijakan ini dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama, memantau transaksi digital yang besar dan kompleks memerlukan sistem yang andal dan terintegrasi. Kedua, edukasi dan sosialisasi yang efektif kepada para pedagang, terutama UMKM, sangat penting untuk memastikan penerimaan dan kepatuhan yang tinggi. Ketiga, memperhatikan dampaknya pada daya beli masyarakat dan memastikan keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan perlu dipertimbangkan.
Untuk memastikan keberhasilan kebijakan ini, pemerintah perlu berkolaborasi erat dengan platform e-commerce dan asosiasi terkait. Penting juga untuk menyediakan dukungan teknis dan pelatihan kepada para pedagang, serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemungutan pajak. Dengan strategi yang tepat, kebijakan ini dapat menciptakan keadilan fiskal tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.
Kesimpulannya, kebijakan pemerintah untuk memungut pajak dari pedagang di marketplace merupakan langkah yang kompleks dengan potensi dampak positif dan negatif. Kesuksesan implementasinya sangat bergantung pada perencanaan yang matang, sosialisasi yang efektif, dan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, platform e-commerce, dan para pelaku UMKM.