Mantan pelatih Timnas Indonesia, Rahmad Darmawan (RD), kembali menyuarakan pentingnya menghidupkan kembali Piala Indonesia. Ia melihat turnamen ini sebagai wadah vital bagi pengembangan pemain muda dan peningkatan jam terbang mereka dalam kompetisi yang kompetitif.
Piala Indonesia terakhir kali digelar pada musim 2018/2019. Ketiadaan turnamen ini meninggalkan kekosongan dalam kalender sepak bola Indonesia, mempengaruhi perkembangan pemain dan klub-klub di berbagai kasta.
Minimnya Ajang Kompetitif di Sepak Bola Indonesia
Ketiadaan Piala Indonesia berdampak pada minimnya kompetisi pendamping bagi Liga Indonesia. Kondisi ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan pengamat sepak bola.
Klub-klub memang bisa lebih fokus pada liga, namun kesempatan bermain bagi pemain muda menjadi terbatas. Klub-klub dari kasta bawah juga kehilangan kesempatan berharga untuk menguji kemampuan melawan tim-tim Liga 1.
Perbandingan dengan Malaysia: Lebih Banyak Turnamen
RD membandingkan situasi sepak bola Indonesia dengan Malaysia, negara yang pernah ia latih. Malaysia memiliki lebih banyak turnamen resmi selain liga.
“Di Malaysia, ada tiga piala, yaitu Piala Liga Malaysia, FA Cup, dan Malaysia Cup. Aturannya berbeda, dan ini memberi kesempatan lebih luas bagi pemain muda untuk bermain,” ungkap RD kepada Antara.
Menurut RD, banyaknya turnamen memungkinkan pelatih melakukan rotasi pemain. Hal ini sangat penting untuk regenerasi pemain, baik di klub maupun Timnas.
Pentingnya Piala Indonesia Meskipun Ada Piala Presiden
Meskipun menyambut positif kembalinya Piala Presiden 2025 sebagai turnamen pramusim, RD tetap menekankan pentingnya Piala Indonesia.
Ia berpendapat bahwa Piala Presiden dan Piala Indonesia memiliki fungsi berbeda dan saling melengkapi. Piala Presiden sebagai ajang pramusim, sedangkan Piala Indonesia sebagai kompetisi resmi di tengah musim.
“Piala Indonesia bisa menjadi ajang mengapresiasi semua pihak yang terlibat dalam kompetisi panjang. Ini juga kesempatan emas bagi pemain muda untuk berkembang,” tambah RD.
RD bahkan mengusulkan agar Piala Presiden diubah menjadi salah satu piala resmi yang diintegrasikan ke dalam kalender kompetisi. Sebagai pelatih tersukses di sejarah Piala Indonesia dengan tiga gelar juara bersama Sriwijaya FC (2008, 2009, dan 2010), pendapatnya layak dipertimbangkan.
Kembalinya Piala Indonesia diharapkan bisa menyeimbangkan fokus pada prestasi liga dengan pengembangan pemain muda. Dengan demikian, sepak bola Indonesia bisa berkembang lebih pesat dan berkelanjutan.
Selain itu, kehadiran Piala Indonesia juga dapat meningkatkan daya saing klub-klub Indonesia di kancah internasional. Dengan lebih banyak pengalaman bertanding, klub-klub Indonesia akan lebih siap menghadapi tantangan di level Asia dan dunia.
Oleh karena itu, perlu adanya kajian mendalam dari PSSI dan stakeholder terkait untuk mengembalikan Piala Indonesia sebagai bagian integral dari ekosistem sepak bola nasional.
Keputusan untuk menghidupkan kembali Piala Indonesia bukan hanya sekadar menambah turnamen, tetapi juga merupakan investasi jangka panjang untuk masa depan sepak bola Indonesia.