Kanal YouTube dan akun media sosial Instagram Masjid Jogokariyan diblokir oleh pihak pengelola platform. Dugaan sementara, pemblokiran ini terkait kecaman terhadap genosida yang dilakukan Israel di Palestina. Pemblokiran ini menimbulkan pertanyaan mengenai batasan kebebasan berekspresi di platform digital dan implikasinya bagi lembaga keagamaan.
Awalnya, kanal YouTube Masjid Jogokariyan dihapus dengan alasan berafiliasi dengan kelompok ekstremis atau kriminal. Unggahan terakhir kanal YouTube tersebut menampilkan wawancara dengan Husein Gaza mengenai situasi di Palestina. Pesan kesalahan “This page isn’t available. Sorry about that. Try searching for something else,” muncul saat mencoba mengakses kanal tersebut.
Sekretaris Takmir Masjid Jogokariyan, Haidar Muhammad, mengkonfirmasi bahwa video terakhir yang diunggah memang membahas konflik Palestina-Israel dengan narasumber Husein Gaza. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa konten tersebut menjadi pemicu utama pemblokiran.
Ketua Dewan Syuro Masjid Jogokariyan, Ustaz M. Jazir, membantah keras tuduhan afiliasi dengan kelompok ekstremis. Ia menegaskan bahwa masjid dan konten-kontennya tidak pernah mendukung kegiatan kriminal atau kekerasan ekstrem. “Jelas tidak, kita itu enggak ada gerakan-gerakan ekstrem, radikal,” tegas Jazir.
Ustaz Jazir menambahkan bahwa berbagai penceramah yang diundang, termasuk Ustaz Adi Hidayat, Ustaz Abdul Somad, dan Anies Baswedan, tidak pernah menyampaikan materi yang melanggar aturan YouTube. Pernyataan ini bertujuan untuk memperkuat klaim bahwa pemblokiran tidak beralasan.
Beberapa hari setelah kanal YouTube diblokir, giliran akun Instagram resmi Masjid Jogokariyan yang bernasib sama. Pengumuman pemblokiran disampaikan melalui akun Instagram alternatif, @masjidjogokariyan.id. Tidak hanya akun utama @masjidjogokariyan, tetapi juga @remajamasjidjogokariyan, @kampoengramadhanjogokariyan, dan akun Himpunan Anak Anak Masjid Jogokariyan ikut diblokir.
Pihak Masjid Jogokariyan menduga pemblokiran berawal dari akun Himpunan Anak Anak Masjid Jogokariyan, yang juga dikenal dengan nama Hamas Jogokariyan. Nama “Hamas” yang identik dengan organisasi Palestina tersebut diduga menjadi pemicu utama pemblokiran. Pemblokiran kemudian meluas ke akun-akun lain yang terkait dengan Masjid Jogokariyan.
Ustaz Jazir menjelaskan kronologi pemblokiran dan upaya banding yang tengah dilakukan. Mereka juga mempertimbangkan untuk mengubah nama akun Himpunan Anak Anak Masjid Jogokariyan agar terhindar dari pemblokiran lebih lanjut. “Mungkin nama Hamas akan kita berikan kepanjangannya, tidak kita singkat Hamas,” ujarnya.
Kasus ini menyoroti tantangan yang dihadapi lembaga keagamaan dalam memanfaatkan platform media sosial. Di satu sisi, media sosial menjadi alat penting untuk menyebarkan informasi dan dakwah. Di sisi lain, terdapat risiko pemblokiran dan sensor yang dapat membatasi kebebasan berekspresi. Perlu ada kajian lebih mendalam mengenai mekanisme pelaporan dan penyelesaian sengketa di platform media sosial agar lebih adil dan transparan.
Kejadian ini juga mempertanyakan kebijakan platform media sosial dalam menangani konten yang dianggap kontroversial. Apakah kebijakan tersebut sudah seimbang dan adil, atau justru cenderung memihak pada kepentingan tertentu? Perlu ada transparansi dan akuntabilitas dari pihak platform dalam menjelaskan alasan pemblokiran akun-akun tersebut.
Terlepas dari polemik yang terjadi, Masjid Jogokariyan tampaknya berkomitmen untuk tetap menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada masyarakat. Mereka akan mencari cara lain untuk tetap terhubung dengan jemaah dan publik, meskipun akun-akun media sosial mereka sementara diblokir. Langkah ini menunjukkan adaptasi dan resiliensi lembaga keagamaan di era digital.
Peristiwa ini juga menjadi pelajaran berharga bagi lembaga keagamaan lain dalam mengelola kehadirannya di media sosial. Strategi yang cermat dan pemahaman yang mendalam terhadap kebijakan platform media sosial sangat diperlukan agar terhindar dari pemblokiran dan tetap dapat menyampaikan pesan-pesan yang bermanfaat.
Secara keseluruhan, kasus pemblokiran akun Masjid Jogokariyan menimbulkan pertanyaan yang kompleks terkait kebebasan berekspresi, kebijakan platform media sosial, dan implikasinya bagi lembaga keagamaan di era digital. Perlu ada dialog dan diskusi lebih lanjut untuk mencari solusi yang adil dan bijaksana.