Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terhadap syarat pendidikan minimal calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). Keputusan ini disambut positif oleh Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, yang menilai putusan tersebut tepat dan inklusif.
Menurut Dede Yusuf, putusan MK membuka peluang bagi seluruh warga negara untuk maju sebagai capres-cawapres tanpa diskriminasi pendidikan. Ia menekankan pentingnya hal ini untuk menjaga keadilan dan kesempatan yang setara.
Putusan MK yang Tepat dan Inklusif
Dede Yusuf menjelaskan bahwa undang-undang yang mengatur syarat capres-cawapres bertujuan memberikan ruang bagi semua warga negara untuk berkontribusi, tanpa memandang latar belakang pendidikan.
Ia mencontohkan beberapa negara maju yang juga tidak menetapkan syarat pendidikan minimum untuk capres-cawapres. Yang terpenting, menurutnya, adalah kewarganegaraan dan rekam jejak yang baik.
Kualifikasi Kepemimpinan yang Lebih Penting
Lebih lanjut, Dede Yusuf menekankan pentingnya kualifikasi kepemimpinan lainnya selain pendidikan formal. Kemampuan berorganisasi dan manajerial menjadi hal krusial.
Kemampuan seorang pemimpin dalam menyelesaikan masalah dan memimpin dalam situasi krisis juga merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan. Hal ini jauh lebih relevan daripada hanya melihat latar belakang pendidikannya.
Komitmen terhadap Pendidikan Tetap Penting
Meskipun menekankan pentingnya kualifikasi kepemimpinan di luar pendidikan, Dede Yusuf juga mengakui peran penting komitmen terhadap pendidikan bagi seorang presiden.
Ia memandang presiden sebagai representasi negara di mata internasional. Presiden yang tidak menghargai pendidikan akan memberikan citra negatif bagi Indonesia di dunia.
Oleh karena itu, meskipun pendidikan formal bukan syarat mutlak, kualitas pendidikan seorang pemimpin tetap menjadi hal yang penting. Dede Yusuf menilai putusan MK telah tepat dan menyerahkan pengaturan syarat-syarat tersebut kepada DPR.
Kronologi Gugatan dan Putusan MK
Gugatan yang diajukan oleh Hanter Oriko Siregar, Daniel Fajar Bahari Sianipar, dan Horison Sibarani mempertanyakan Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mensyaratkan pendidikan minimal S1 untuk capres-cawapres.
Mereka meminta agar pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Namun, MK menolak gugatan tersebut seluruhnya, menyatakan permohonan tidak beralasan menurut hukum.
Ketua MK, Suhartoyo, bahkan menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), menyatakan MK seharusnya tidak menerima perkara tersebut karena pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum.
Putusan ini secara resmi menolak gugatan tersebut, menegaskan bahwa syarat pendidikan minimal S1 untuk capres-cawapres tetap berlaku.
Kesimpulannya, perdebatan mengenai syarat pendidikan capres-cawapres telah menemukan titik akhir dengan putusan MK yang menolak gugatan. Meskipun pendidikan formal dianggap penting, putusan ini menekankan pentingnya kualitas kepemimpinan yang komprehensif, membuka kesempatan yang lebih luas bagi seluruh warga negara untuk memimpin Indonesia.