Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terhadap syarat pendidikan minimal calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, menilai putusan tersebut tepat karena membuka peluang bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi.
Putusan ini mengakhiri permohonan yang diajukan oleh Hanter Oriko Siregar, Daniel Fajar Bahari Sianipar, dan Horison Sibarani, yang mempersoalkan Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pendapat Dede Yusuf Mengenai Putusan MK
Dede Yusuf menyatakan dukungannya terhadap putusan MK. Ia menekankan bahwa undang-undang seharusnya memberikan kesempatan kepada semua warga negara untuk mencalonkan diri sebagai capres-cawapres tanpa memandang latar belakang pendidikan.
Menurutnya, banyak negara maju pun tidak menetapkan syarat pendidikan minimal untuk pemimpinnya. Yang lebih penting adalah kewarganegaraan dan rekam jejak yang baik.
Ia menambahkan bahwa kemampuan berorganisasi, manajerial, dan kemampuan menyelesaikan masalah merupakan kualifikasi yang lebih penting untuk seorang pemimpin.
Meskipun demikian, Dede Yusuf tetap menekankan pentingnya komitmen terhadap pendidikan bagi seorang presiden, mengingat citra presiden mencerminkan negara.
Analisis Putusan MK dan Syarat Capres-Cawapres
Permohonan tersebut bertujuan untuk menyatakan Pasal 169 huruf r UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945, khususnya bagian yang mensyaratkan pendidikan minimal S1 untuk capres-cawapres.
Para pemohon meminta agar syarat pendidikan minimal S1 tersebut dinyatakan tidak mengikat. Namun, MK menolak gugatan tersebut, menyatakan permohonan tidak beralasan menurut hukum.
Ketua MK, Suhartoyo, bahkan menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Ia berpendapat MK seharusnya tidak menerima permohonan tersebut karena para pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum.
Petitum Gugatan yang Ditolak MK
- Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya.
- Menyatakan Pasal 169 huruf r UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: ‘berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat’.
- Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Implikasi Putusan MK Terhadap Proses Pemilu Mendatang
Dengan ditolaknya gugatan tersebut, syarat pendidikan minimal S1 untuk capres-cawapres tetap berlaku.
Namun, pernyataan Dede Yusuf menunjukkan adanya penekanan pada kualitas kepemimpinan di luar sekadar kualifikasi pendidikan formal.
Putusan ini memberikan kepastian hukum dan kerangka acuan bagi proses pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang. Meskipun begitu, perdebatan mengenai kualifikasi ideal seorang pemimpin kemungkinan akan tetap berlanjut.
Fokus kini beralih pada aspek-aspek lain kepemimpinan seperti integritas, kapabilitas, dan visi untuk memimpin bangsa Indonesia.
Putusan MK ini telah memberikan kepastian hukum, namun tetap membuka ruang diskusi publik mengenai kriteria ideal pemimpin bangsa. Kompetensi dan rekam jejak yang mumpuni, terlepas dari latar belakang pendidikan, tampaknya akan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan figur pemimpin yang tepat di masa depan. Hal ini akan menjadi sorotan utama dalam perhelatan politik mendatang.