Di tengah persaingan kerja yang ketat dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) beberapa tahun terakhir, muncul fenomena menarik: banyak lulusan sarjana (S1) yang akhirnya memilih pekerjaan informal seperti asisten rumah tangga (ART), sopir, atau satpam. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang relevansi gelar sarjana di pasar kerja Indonesia.
Ketua Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI), Ivan Taufiza, menjelaskan bahwa ini bukanlah hal baru. Ia telah menyaksikan fenomena serupa sejak tahun 1995, jauh sebelum menjadi sorotan media.
Imbalance Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja
Ivan Taufiza menunjuk pada ketidakseimbangan antara jumlah pencari kerja (supply) dan kebutuhan tenaga kerja (demand) sebagai akar masalah. Jumlah pencari kerja jauh melebihi kebutuhan pasar.
Ijazah S1, menurut Ivan, seringkali hanya berfungsi sebagai alat penyaring administratif, bukan penentu utama kemampuan kerja. Sistem ini menyulitkan para pencari kerja yang kualifikasinya sesuai namun tersisih oleh jumlah pelamar yang banyak.
Kondisi ini berbeda dengan negara-negara seperti Qatar, di mana permintaan tenaga kerja sangat tinggi. Di negara tersebut, ijazah kurang berpengaruh karena prioritasnya adalah menemukan tenaga kerja yang siap bekerja.
Pergeseran Prioritas Perekrutan Perusahaan
Tren ini diperkuat oleh perubahan strategi perekrutan di sejumlah perusahaan, terutama multinasional. Banyak perusahaan besar, termasuk perusahaan Fortune 500, kini lebih mengutamakan kemampuan kerja daripada gelar sarjana tertentu.
Mereka lebih fokus pada tes kemampuan dan kesesuaian kandidat dengan posisi yang dibutuhkan. Hal ini menyebabkan persaingan ketat berdasarkan keahlian, bukan hanya sebatas ijazah.
Lulusan sarjana yang kurang kompetitif dalam persaingan berbasis keahlian ini terpaksa beralih ke pekerjaan informal untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Jumlah Lapangan Kerja yang Terbatas
Pengamat Ketenagakerjaan UGM, Tadjudin Noor Effendi, menambahkan bahwa jumlah lapangan kerja yang tersedia tidak mampu menyerap seluruh pencari kerja baru setiap tahunnya.
Data BPS menunjukkan penambahan angkatan kerja sekitar 3-3,5 juta orang per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi 1% hanya menciptakan sekitar 200-300 ribu lapangan kerja baru. Hal ini menyebabkan jutaan pencari kerja tidak terserap oleh sektor formal.
Situasi ini diperparah oleh PHK yang terjadi, sehingga semakin banyak individu yang harus bersaing memperebutkan lapangan pekerjaan yang terbatas. Akibatnya, proporsi pekerja informal di Indonesia meningkat signifikan, mencapai sekitar 60% menurut sensus BPS 2025.
Kesimpulannya, fenomena banyaknya lulusan sarjana yang bekerja di sektor informal merupakan cerminan dari ketidakseimbangan pasar kerja Indonesia. Perlu strategi yang lebih komprehensif untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak dan relevan dengan kebutuhan pasar. Selain itu, perlu penyesuaian sistem pendidikan agar lebih fokus pada pengembangan keterampilan yang dibutuhkan oleh industri.