Perbedaan data kemiskinan antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia tengah menjadi sorotan. Perbedaan angka yang signifikan memicu perdebatan dan pertanyaan mengenai metode penghitungan serta relevansi data yang digunakan untuk menentukan kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia. Hal ini semakin diperkuat dengan perubahan metode penghitungan yang dilakukan Bank Dunia.
Data kemiskinan yang dirilis oleh kedua lembaga ini menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok. BPS mencatat angka kemiskinan di Indonesia pada September 2024 sebesar 8,57 persen, atau sekitar 24,06 juta jiwa. Angka ini jauh berbeda dengan data Bank Dunia yang menunjukkan angka jauh lebih tinggi.
Metode Penghitungan yang Berbeda
Perbedaan angka ini disebabkan oleh perbedaan metode penghitungan yang digunakan oleh BPS dan Bank Dunia. BPS menggunakan garis kemiskinan nasional per kapita sebesar Rp 595.242 per bulan. Sementara itu, Bank Dunia menggunakan pendapatan penduduk 6,85 dollar AS (sekitar Rp 111.600 dengan kurs Rp 16.290) per kapita per hari.
Metode Bank Dunia didasarkan pada paritas daya beli (Purchasing Power Parity/PPP) 2017 untuk negara dengan ekonomi menengah ke atas. Dengan menggunakan metode ini, Bank Dunia memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2024 mencapai 60,3 persen. Angka ini mengalami penurunan tipis dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 61,8 persen.
Perubahan acuan penghitungan garis kemiskinan Bank Dunia dari PPP 2017 menjadi PPP 2021 pada Juni 2025 mengakibatkan lonjakan angka kemiskinan. Dengan PPP 2021, garis kemiskinan naik menjadi 8,30 dollar AS per kapita per hari, dan persentase penduduk miskin di Indonesia melonjak menjadi 68,25 persen atau sekitar 194,67 juta jiwa.
Desakan Revisi Garis Kemiskinan BPS
Para ekonom menilai garis kemiskinan yang digunakan BPS sudah tidak relevan lagi. Indikator pengukuran garis kemiskinan BPS yang terakhir diperbarui pada tahun 1976 dianggap sudah ketinggalan zaman. Bhima Yudhistira dari CELIOS mendesak BPS untuk segera merevisi indikator perhitungan garis kemiskinan.
Ia menekankan pentingnya revisi agar data yang dirilis BPS sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia saat ini. Data BPS menjadi acuan pemerintah dalam menyusun kebijakan, sehingga data yang tidak akurat dapat berdampak pada program bantuan sosial yang mungkin tidak menjangkau seluruh penduduk miskin. Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Wijayanto Samirin dari Universitas Paramadina.
Wijayanto menilai standar garis kemiskinan BPS terlalu rendah dan tidak mencerminkan realitas. Standar yang tidak tepat dapat membuat pemerintah lengah dalam upaya penurunan kemiskinan karena angka yang tercatat terlihat rendah. Pemerintah pun dirasa dapat menjadi complacent dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Pemerintah dan DEN Kajian Ulang Garis Kemiskinan
Pemerintah, melalui Dewan Ekonomi Nasional (DEN), telah memulai kajian ulang garis kemiskinan nasional. Ketua DEN, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa standar yang digunakan saat ini perlu diubah. Laporan kajian telah disiapkan dan akan disampaikan kepada Presiden.
Anggota DEN, Arief Anshory Yusuf, mengusulkan agar garis kemiskinan BPS dinaikkan menjadi Rp 765.000 per kapita per bulan. Ia berpendapat garis kemiskinan saat ini terlalu rendah, hanya sedikit di atas batas kemiskinan ekstrem internasional. Namun, ia juga mempertimbangkan status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas.
Arief mengusulkan kompromi dengan mengacu pada standar negara berpendapatan menengah bawah dari Bank Dunia, yaitu 4,20 dollar AS per kapita per hari atau sekitar Rp 765.000 per bulan. Angka ini lebih tinggi dari yang ada, tetapi masih jauh lebih rendah dari standar negara menengah atas.
Pemerintah dan DPR juga tengah mendalami garis kemiskinan sebagai bagian dari penyusunan RAPBN 2026. Pembahasan ini mencakup indikator kemiskinan ekstrem, tingkat kemiskinan, dan indeks modal manusia. Hal ini penting untuk menentukan alokasi anggaran dalam program pengentasan kemiskinan.
Bank Dunia sendiri menyatakan bahwa garis kemiskinan nasional yang disusun pemerintah, seperti yang digunakan BPS, tetap paling relevan untuk pengambilan kebijakan di tingkat nasional. Data Bank Dunia berfungsi sebagai tolok ukur internasional untuk memantau kondisi kemiskinan global dan membandingkan antarnegara.
Perbedaan metode antara BPS dan Bank Dunia bersifat disengaja. Kedua lembaga memiliki tujuan pengukuran yang berbeda, sehingga wajar menggunakan pendekatan yang berbeda pula. Dengan demikian, diperlukan pemahaman yang komprehensif mengenai perbedaan metode dan tujuan pengukuran untuk menghindari kesalahpahaman dalam menginterpretasikan data kemiskinan di Indonesia.