Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah berupaya keras mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor transportasi. Sektor ini diketahui menyumbang 15 persen dari total emisi GRK di Indonesia, sebuah angka yang perlu ditangani secara serius.
Tingkat polusi udara di perkotaan Indonesia juga menjadi perhatian utama pemerintah. Pada tahun 2022, konsentrasi Particulate Matter (PM) 2.5 di Jabodetabek mencapai angka yang mengkhawatirkan.
Kualitas Udara dan Tantangan Indonesia Emas 2045
Berdasarkan data, rata-rata konsentrasi PM 2.5 di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 6,1, jauh di atas batas aman yang ditetapkan oleh WHO. Kondisi ini berdampak signifikan pada kesehatan masyarakat dan berpotensi menghambat pencapaian visi Indonesia Emas 2045.
Sektor transportasi jalan menyumbang sekitar 12 persen dari total emisi GRK nasional. Ketergantungan Indonesia pada energi fosil, sekitar 338,4 juta barel per tahun, juga memperparah masalah ini.
Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang pesat semakin menambah beban emisi. Hal ini terutama disebabkan oleh belum optimalnya layanan transportasi publik di perkotaan.
Strategi Penurunan Emisi GRK di Sektor Transportasi
Untuk mengatasi permasalahan ini, Kemenhub melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat telah merancang beberapa strategi. Salah satu fokus utamanya adalah elektrifikasi transportasi publik di perkotaan.
Selain itu, akan diterapkan program Eco-Driving untuk meningkatkan efisiensi operasional angkutan umum. Teknologi hemat energi dan rendah emisi juga akan diprioritaskan.
Penerapan *green building design* pada fasilitas dan simpul transportasi darat juga menjadi bagian dari rencana strategis. Tujuannya adalah untuk mengurangi konsumsi energi di sektor ini.
Tantangan dan Langkah Aksi Menuju Transportasi Berkelanjutan
Implementasi kebijakan elektrifikasi transportasi publik menghadapi beberapa tantangan. Biaya investasi yang tinggi untuk transportasi hijau menjadi salah satu kendala utama.
Rendahnya kesadaran publik dan sektor swasta mengenai isu lingkungan juga menjadi hambatan. Ketersediaan layanan angkutan umum perkotaan yang belum merata menambah kompleksitas masalah.
Terbatasnya anggaran APBD dan APBN untuk penyediaan transportasi hijau juga merupakan faktor penghambat. Mayoritas energi di Indonesia masih bersumber dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang berbahan bakar batubara.
Meskipun demikian, beberapa kota telah mulai menerapkan program ini. Pekanbaru, misalnya, telah mengoperasikan sembilan bus listrik. Surabaya juga telah menjalankan satu rute dengan 12 bus listrik, dan Surakarta diharapkan segera menyusul.
Upaya pemerintah untuk menekan emisi GRK dari sektor transportasi merupakan langkah penting menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Perlu kolaborasi yang kuat antara pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk mencapai tujuan ini. Keberhasilan program ini akan berdampak positif terhadap kualitas udara dan kesehatan masyarakat, sekaligus mendukung pencapaian visi Indonesia Emas 2045.