Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai kecaman luas setelah pernyataan kontroversialnya yang menyangkal adanya pemerkosaan massal selama kerusuhan Mei 1998. Ia berpendapat peristiwa tersebut hanya berdasarkan rumor tanpa bukti valid. Pernyataan ini langsung berbenturan dengan temuan resmi dan kesaksian para korban. Kontroversi ini memicu perdebatan sengit dan tuntutan permintaan maaf.
Pernyataan kontroversial Fadli Zon disampaikan dalam sebuah program televisi. Ia menegaskan tidak ada bukti pemerkosaan massal, menantang pihak yang menyatakan sebaliknya untuk membuktikan klaim mereka. Pernyataan ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak.
Bantahan Terhadap Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 justru mengungkapkan fakta yang berbeda. Tim yang dibentuk oleh beberapa menteri dan Jaksa Agung ini menemukan bukti kuat mengenai kekerasan seksual yang terjadi di beberapa kota.
TGPF terdiri dari berbagai unsur, termasuk pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan ormas. Laporan mereka mendetailkan berbagai bentuk kekerasan seksual, bukan hanya pemerkosaan.
Jenis-jenis Kekerasan Seksual dalam Laporan TGPF
Laporan TGPF mengategorikan kekerasan seksual menjadi empat jenis. Keempat kategori tersebut meliputi pemerkosaan, pemerkosaan disertai penganiayaan, penyerangan/penganiayaan seksual, dan pelecehan seksual.
Terdapat 52 korban pemerkosaan yang tercatat dalam laporan TGPF. Selain itu, terdapat juga 14 korban pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.
Laporan TGPF juga mencatat kekerasan seksual di luar periode kerusuhan Mei 1998, yang memiliki kaitan dengan peristiwa tersebut. Hal ini menunjukan cakupan kekerasan seksual jauh lebih luas dari yang dibayangkan.
TGPF menganalisis bahwa kekerasan seksual terjadi karena adanya niat, kesempatan, dan kondisi psikologis massa yang seolah membenarkan tindakan tersebut. Kondisi ini memperparah dan memperluas dampak kekerasan seksual.
Kesulitan dalam pencatatan jumlah korban juga diakui dalam laporan. Trauma, rasa takut, dan aib yang dialami korban dan keluarga membuat banyak kasus tidak dilaporkan. Hal inilah yang menyebabkan kesimpangsiuran angka korban.
Reaksi Keras dari Sejarawan dan Aktivis
Sejarawan dan aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia, dengan tegas menyebut pernyataan Fadli Zon sebagai dusta. Ia menceritakan pengalamannya sebagai relawan kemanusiaan pada masa itu, menangani banyak kasus pemerkosaan di Jakarta.
Ita, yang pernah terlibat dalam tim relawan yang diinisiasi Gus Dur, mengungkapkan betapa banyaknya kasus pemerkosaan yang mereka tangani. Pengalaman ini membuatnya marah dan kecewa dengan pernyataan Fadli Zon.
Ia menekankan bahwa peran seorang menteri seharusnya membantu penyembuhan trauma bangsa, bukan malah mengingkari sejarah kelam. Pernyataan Fadli Zon dianggapnya sebagai pengingkaran terhadap penderitaan para korban.
Oleh karena itu, Ita menuntut Fadli Zon meminta maaf kepada para korban yang hingga kini masih menderita akibat trauma masa lalu. Ia menilai, permintaan maaf merupakan bentuk tanggung jawab moral dan kesungguhan dalam memperbaiki kesalahan.
Tuntutan Permintaan Maaf dan Rekonsiliasi
Pernyataan Fadli Zon menimbulkan gelombang kecaman dan tuntutan permintaan maaf. Pernyataan ini dianggap tidak sensitif dan melukai perasaan para korban kekerasan seksual Mei 1998.
Banyak pihak menilai pernyataan Fadli Zon sebagai bentuk penghinaan terhadap korban dan pengingkaran terhadap fakta sejarah yang terdokumentasi. Pernyataan tersebut juga mempertanyakan kredibilitas data dan laporan resmi TGPF.
Peristiwa ini menyoroti pentingnya rekonsiliasi dan pengakuan atas pelanggaran HAM masa lalu. Pengingkaran terhadap peristiwa ini akan menghambat proses penyembuhan trauma kolektif bangsa Indonesia. Permintaan maaf Fadli Zon menjadi tuntutan penting untuk mengembalikan kepercayaan dan memulai proses penyembuhan. Peristiwa ini juga menjadi pengingat betapa pentingnya menghargai kebenaran sejarah dan mendengarkan suara korban.