Penerapan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menuai protes di Magetan, Jawa Timur. Keluhan datang dari orang tua calon siswa SDN Ngiliran, Kecamatan Panekan, yang anaknya gagal masuk sekolah karena kuota terbatas. Kejadian ini menyoroti dampak penerapan aturan rombongan belajar (rombel) yang kaku dalam sistem SPMB.
Sekolah Dasar Negeri Ngiliran hanya mampu menampung 28 siswa per kelas, sementara jumlah pendaftar mencapai 41 anak. Akibatnya, 13 calon siswa terpaksa mencari sekolah lain.
Aturan Rombel yang Kaku dan Sistem Dapodik
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Kadisdikpora) Kabupaten Magetan, Suwata, menjelaskan bahwa aturan rombel yang ditetapkan Kemendikdasmen tidak bisa diubah. Jumlah siswa per kelas di SD dibatasi 28 anak, dan di SMP 32 anak.
Sebelumnya, aplikasi Data Pokok Pendidikan (Dapodik) masih memberikan kelonggaran. Namun, sejak SPMB 2025, data rombel langsung dikunci setelah diinput, sehingga tidak ada fleksibilitas lagi.
Sistem Dapodik yang terintegrasi dengan SPMB 2025 dinilai menjadi penyebab utama masalah ini. Aplikasi yang terintegrasi dan terkunci membuat sekolah tidak dapat menerima siswa lebih dari kuota rombel yang telah ditetapkan.
Dampak terhadap Calon Siswa dan Orang Tua
Para siswa yang gagal masuk SDN Ngiliran terpaksa mencari sekolah lain, sebagian besar diarahkan ke sekolah swasta. Namun, pilihan ini tetap menjadi beban tambahan bagi orang tua siswa.
Ketidakpastian tempat bersekolah menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan bagi orang tua. Mereka harus mencari solusi alternatif dan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk biaya sekolah.
Meskipun pemerintah bermaksud untuk pemerataan pendidikan lewat SPMB, realitas di lapangan menunjukkan dampak negatifnya bagi beberapa daerah. Kejadian serupa kemungkinan besar terjadi di daerah lain.
Upaya Penanganan dan Koordinasi
Pemerintah Kabupaten Magetan tengah melakukan inventarisasi masalah ini untuk dilaporkan ke Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Mereka juga berkoordinasi dengan Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Jawa Timur.
Harapannya, BPMP Jawa Timur dapat menindaklanjuti permasalahan ini ke pemerintah pusat. Suwata berharap agar ada peninjauan kembali terhadap sistem SPMB 2025 untuk mengakomodir kebutuhan di lapangan.
Koordinasi intensif dengan berbagai pihak terkait sangat diperlukan. Perlu adanya solusi yang adil dan bijaksana untuk memastikan setiap anak mendapatkan haknya untuk mengenyam pendidikan.
Kejadian di Magetan ini menjadi pengingat pentingnya evaluasi dan penyesuaian sistem pendidikan agar lebih responsif terhadap kondisi di lapangan. Pemerataan pendidikan perlu diimbangi dengan fleksibilitas dan solusi yang pragmatis.
Inventarisasi data dan koordinasi yang intensif dengan berbagai pihak terkait menjadi langkah penting dalam mencari solusi terbaik. Pemerintah diharapkan dapat segera merespon keluhan masyarakat dan melakukan perbaikan sistem SPMB 2025.