Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyerahkan berkas perkara sembilan tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina (2019-2023) kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pelimpahan ini juga mencakup 14 klaster aset sitaan yang cukup signifikan nilainya. Kasus ini menarik perhatian publik karena potensi kerugian negara yang sangat besar dan keterlibatan beberapa pihak penting. Informasi detail mengenai aset sitaan dan kronologi kasus akan dijelaskan lebih lanjut dalam artikel ini.
Aset Sitaan: Dari Uang Tunai hingga Perusahaan
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa aset sitaan meliputi uang tunai dalam berbagai mata uang, logam mulia, dan kepemilikan perusahaan. Total uang tunai yang disita mencapai sekitar Rp3 miliar.
Rincian uang tunai mencakup mata uang rupiah dan asing seperti USD, SGD, EUR, RM, AUD, CNY, SAR, HKD, JPY, VND, AED, dan THB. Jumlah masing-masing mata uang bervariasi, mulai dari puluhan hingga jutaan rupiah dan setara.
Selain uang tunai, penyidik juga menyita tiga kunci safe deposit box, logam mulia seberat 225 gram, satu lemari besi, dan satu tas berisi 16 amplop uang tunai senilai sekitar Rp786 juta. Keberagaman aset sitaan ini menunjukkan kompleksitas dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi.
PT Orbit Terminal Merak (OTM): Aset Utama yang Disita
Aset paling signifikan yang disita adalah PT Orbit Terminal Merak (OTM), perusahaan depo bahan bakar minyak (BBM) di Cilegon, Banten. Perusahaan ini dimiliki oleh keluarga mantan bos Petral, M Riza Chalid, dan disita dari tersangka M Kerry Andrianto Riza (MKAR) alias Kerry, anak kandung Riza Chalid.
Selain perusahaan itu sendiri, penyidik juga menyita lahan seluas 31.921 meter persegi dan 190.694 meter persegi yang merupakan aset PT OTM. Semua objek di atas lahan tersebut turut disita, termasuk dermaga atau jetty-1 (kapasitas 133 ribu MMT) dan jetty-2 (kapasitas 20 ribu MMT). Ini menunjukkan skala besar operasi yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Kerugian Negara dan Dampaknya
Kejagung sebelumnya mengumumkan total kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun. Angka tersebut merupakan estimasi kerugian akibat permufakatan jahat dan persekongkolan para tersangka. Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, menjelaskan detail perhitungan tersebut.
Penyitaan aset-aset tersebut merupakan langkah penting dalam upaya pemulihan keuangan negara. Selain aset yang telah disita, investigasi lebih lanjut mungkin akan mengungkap aset-aset lain yang terkait dengan kasus ini.
Selain itu, penyitaan satu SPBU dan sejumlah tangki minyak dengan kapasitas total yang sangat besar, turut menjadi bagian dari barang bukti yang disita. Jumlah tangki yang beragam kapasitasnya (22.400 KL, 20.200 KL, 12.600 KL, 7.400 KL, dan 7.000 KL) menunjukkan dugaan penyimpangan yang sistematis dan terorganisir.
Proses hukum akan terus berjalan dan diharapkan dapat memberikan keadilan serta memberikan efek jera bagi pelaku korupsi di masa mendatang. Transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Semoga kasus ini menjadi pembelajaran berharga bagi semua pihak untuk mencegah terjadinya korupsi serupa di masa depan.