Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah menjadi sorotan publik sejak diluncurkan. Berbagai isu terkait kandungan gizi, kasus keracunan, keterlambatan pembayaran mitra, dan efektivitas penyaluran menjadi perbincangan hangat. Pemerintah menjadikan MBG sebagai prioritas utama dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) di RPJMN 2025-2029, bertujuan membangun generasi sehat dan produktif.
Program MBG memiliki empat pilar utama: peningkatan status gizi, partisipasi dan kualitas pendidikan, penguatan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan. Sasaran utama mencakup peserta didik, anak di bawah lima tahun, dan ibu hamil serta menyusui. Namun, implementasi di lapangan menunjukkan tantangan signifikan.
Ibu Hamil dan Menyusui: Kelompok yang Sering Terpinggirkan
Fokus MBG selama ini lebih banyak pada peserta didik karena kemudahan akses melalui sekolah. Padahal, masa kehamilan hingga usia tiga tahun merupakan periode emas perkembangan otak anak. Sekitar 80 persen perkembangan otak terjadi dalam tiga tahun pertama, sehingga gizi dan stimulasi yang cukup sangat penting.
Kekurangan gizi pada ibu hamil meningkatkan risiko bayi lahir dengan berat badan rendah. Ibu menyusui yang kekurangan gizi juga rentan mengalami penurunan volume ASI, perlambatan pemulihan pasca persalinan, dan penurunan imunitas. Dampaknya meluas, tak hanya pada ibu tetapi juga bayi.
Fitriana Herarti, Wakil Ketua ECED Council dan ECED Ecosystem Development Lead Tanoto Foundation, menekankan perlunya pendekatan berbeda. Ibu hamil dan menyusui bukan hanya penerima bantuan, tetapi individu dengan otonomi yang harus dilibatkan aktif dalam pengambilan keputusan gizi keluarga.
Tantangan Data dan Akses Layanan yang Membatasi Jangkauan
Distribusi MBG untuk ibu hamil dan menyusui saat ini masih bergantung pada layanan kesehatan seperti puskesmas dan posyandu. Akses layanan yang terbatas, misalnya hanya sebulan sekali, menjadi kendala. Intervensi MBG idealnya bersifat harian untuk dampak maksimal.
Desain intervensi yang memadukan edukasi gizi sangat penting. Edukasi gizi akan mengubah kelompok sasaran dari penerima pasif menjadi agen perubahan gizi dalam keluarga. Strategi ini akan menjamin keberlanjutan program dan dampak jangka panjang.
Edukasi Gizi: Dari Informasi ke Perubahan Perilaku yang Berkelanjutan
Pendekatan edukasi untuk ibu hamil dan menyusui berbeda dengan anak-anak. Metode andragogi yang menekankan pengalaman nyata dan partisipasi aktif lebih efektif. Mengajak ibu menyusun dan memasak menu bergizi lebih efektif daripada sekadar menjelaskan gizi seimbang.
Pengalaman hidup ibu harus jadi sumber pembelajaran. Fokus bukan hanya penyampaian informasi, tetapi membantu ibu memecahkan masalah gizi sehari-hari. Perubahan perilaku membutuhkan proses bertahap, melalui pendekatan Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP).
Tahapan KPP meliputi prakontemplasi (belum sadar pentingnya gizi), kontemplasi (sadar tapi belum siap berubah), persiapan (merencanakan perubahan), tindakan (menerapkan perilaku sehat), dan pemeliharaan (menjaga konsistensi). Pendampingan konsisten kunci keberhasilan edukasi.
Ibu hamil dan menyusui bukan sekadar penerima manfaat, tetapi agen perubahan. Dengan pengetahuan dan peran aktif, mereka mampu menjadi motor penggerak perubahan gizi dalam keluarga, dan menjangkau sasaran lain dalam ekosistem MBG. Pemberian makanan bergizi efektif jika dibarengi pemberdayaan sasaran. Program MBG perlu lebih fokus pada pemberdayaan ibu hamil dan menyusui untuk mencapai dampak yang lebih luas dan berkelanjutan.