Suntikan dana sebesar Rp6,65 triliun dari Danantara kepada Garuda Indonesia (GIAA) menjadi sorotan tajam. Pengamat BUMN, Herry Gunawan, menilai langkah tersebut sebagai solusi yang kurang tepat dan hanya bersifat sementara. Ia mempertanyakan efektivitas suntikan modal tersebut dalam mengatasi permasalahan fundamental yang dihadapi maskapai pelat merah ini.
Masalah Garuda Indonesia bukanlah sekadar operasional, melainkan tumpukan utang dan kewajiban keuangan yang besar. Meskipun secara operasional Garuda mencatatkan surplus, beban keuangan yang berat justru mengakibatkan kerugian.
Suntikan Modal Tak Sentuh Akar Masalah Garuda
Herry Gunawan merinci analisisnya berdasarkan laporan keuangan Garuda. Ia menjelaskan bahwa arus kas operasional Garuda pada kuartal I 2025 mencapai USD 162,3 juta, mengindikasikan surplus operasional.
Namun, beban utang yang signifikan langsung membuat perusahaan merugi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah utama Garuda bukanlah pada kemampuan operasionalnya dalam menghasilkan pendapatan, melainkan pada beban keuangan yang memberatkan.
Suntikan modal yang difokuskan pada pemulihan operasional, menurut Herry, hanya mengobati gejala, bukan penyakitnya. Ia menyamakannya dengan mengobati sakit jantung dengan obat sakit kulit.
Manajemen Garuda Dinilai Kurang Memiliki Sense of Crisis
Herry Gunawan juga mengkritik manajemen Garuda yang dinilai kurang memiliki sense of crisis. Meskipun masalah tersebut merupakan warisan dari manajemen sebelumnya, manajemen saat ini dinilai tidak mampu mengatasinya dengan efektif.
Terdapat indikasi bahwa manajemen Garuda seolah-olah perusahaan sedang menikmati keuntungan. Hal ini terlihat dari beberapa isu, seperti adanya tim di lingkungan BOD Office yang justru menunjukkan perbaikan di lingkungan Garuda, padahal beban operasional, termasuk beban gaji karyawan, terus meningkat.
Beban operasional transportasi, jaringan, dan pelayanan penumpang juga meningkat signifikan. Beban gaji karyawan, misalnya, naik dari USD 102,1 juta pada kuartal I 2024 menjadi USD 122,8 juta pada kuartal I 2025.
Indikasi Kurangnya Sense of Crisis
Alasan Danantara yang menyebut suntikan dana sebagai upaya menyelamatkan “simbol kedaulatan negara” dinilai sebagai alasan yang dibuat-buat dan tidak relevan dengan kondisi finansial sebenarnya. Manajemen dinilai perlu menunjukkan sense of crisis yang nyata.
Herry menegaskan bahwa manajemen Garuda harus fokus pada permasalahan utang dan efisiensi operasional, bukan hanya berlindung di balik citra sebagai maskapai nasional.
Rekomendasi bagi Garuda dan Danantara
Herry Gunawan menyarankan agar Danantara meninjau kembali model bisnis Garuda. Ia menilai Garuda masih memiliki banyak bisnis non-inti yang dapat dikurangi.
Ada beberapa bisnis non-inti yang dimiliki Garuda, seperti Garuda Indonesia Holiday France S.A.S, hotel, dan jasa boga yang dikelola Aero Wisata, serta jasa sistem kompiyerisasi reservasi. Beberapa bisnis tersebut dapat dialihkan kepada BUMN lain yang lebih fokus di sektor tersebut, seperti InJourney.
Langkah pertama yang harus dilakukan Garuda adalah menunjukkan sense of crisis. Manajemen harus fokus pada efisiensi dan penyelesaian masalah utang, bukan hanya mempertahankan citra sebagai maskapai nasional.
Herry menekankan bahwa romantisme seputar “national flag carrier” sudah tidak relevan lagi dalam konteks keuangan perusahaan. Prioritas utama adalah pembenahan internal dan fokus pada bisnis inti penerbangan. Hanya dengan demikian, suntikan modal baru akan efektif dan bermanfaat dalam jangka panjang.