Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) mengenal istilah “cost recovery” yang krusial dalam kegiatan produksi. Istilah ini merujuk pada mekanisme penggantian biaya produksi yang dikeluarkan oleh kontraktor.
Mekanisme ini diatur dalam peraturan pemerintah dan menjadi pusat perhatian karena implikasinya terhadap pembagian keuntungan antara negara dan perusahaan migas. Pemahaman mendalam tentang cost recovery sangat penting bagi siapapun yang ingin memahami dinamika industri migas di Indonesia.
Mengenal Cost Recovery dalam Industri Hulu Migas
Cost recovery, secara sederhana, adalah mekanisme penggantian biaya yang dikeluarkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dalam kegiatan eksplorasi, pengembangan lapangan, dan operasi. Biaya-biaya ini diklaim kembali dari hasil produksi.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasional yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menjadi landasan hukum utama pengaturan cost recovery.
Pasal 7 ayat 1 PP tersebut menyebutkan bahwa kontraktor berhak mendapatkan kembali biaya operasi setelah wilayah kerja menghasilkan produksi komersial, sesuai rencana kerja dan anggaran yang telah disetujui. Status produksi komersial sendiri ditetapkan oleh Menteri ESDM.
Namun, terdapat risiko bagi kontraktor. Jika wilayah kerja tidak menghasilkan produksi komersial, seluruh biaya operasi menjadi tanggung jawab penuh kontraktor (Pasal 7 ayat 3).
Persoalan dan Perdebatan Seputar Cost Recovery
Penerapan cost recovery kerap menimbulkan perdebatan. Salah satu kritik muncul dari mantan Menteri ESDM, Ignasius Jonan.
Jonan mencatat adanya perdebatan alot antara KKKS dan SKK Migas terkait biaya yang dapat diganti negara melalui mekanisme cost recovery. Beliau mencontohkan kasus Chevron di Riau, di mana pembagian keuntungan terlihat timpang setelah dikurangi biaya.
Salah satu masalah yang dihadapi adalah pembengkakan cost recovery yang berujung pada berkurangnya jatah minyak untuk negara. Pembengkakan biaya ini terkadang diakibatkan oleh inefisiensi operasional.
Jonan menggunakan analogi sederhana untuk menjelaskan kompleksitas perdebatan ini: seperti negosiasi harga martabak yang meningkat karena alasan-alasan tak terduga.
Skema Gross Split: Alternatif Pengganti Cost Recovery
Sebagai alternatif, skema gross split diperkenalkan untuk mengatasi perdebatan seputar cost recovery. Gross split menawarkan mekanisme bagi hasil yang lebih sederhana dan transparan.
Skema ini dianggap lebih menguntungkan negara karena potensi keuntungan bagi hasil yang lebih besar dan proses yang lebih ringkas. Banyak negara lain juga telah mengadopsi skema ini.
Dengan gross split, penerimaan negara menjadi lebih pasti karena pembagian hasil dilakukan di awal tanpa pengurangan biaya cost recovery. Inefisiensi operasional juga tidak dapat dibebankan kepada negara.
Namun, penerapan gross split hanya berlaku untuk kontrak baru, sementara kontrak yang sudah berjalan tetap menggunakan sistem cost recovery.
Pemerintah memberikan fleksibilitas kepada investor untuk memilih skema kontrak, baik gross split maupun cost recovery. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2020. Namun, pemerintah berencana merevisi aturan gross split untuk mengakomodasi pengembangan migas non-konvensional (MNK).
Pengembangan MNK memiliki karakteristik berbeda dengan migas konvensional. Investasi awal MNK relatif kecil, namun akan meningkat signifikan seiring waktu. Proses persetujuan yang panjang pada skema cost recovery dinilai menghambat pengembangan MNK.
Revisi aturan bertujuan untuk menyederhanakan ketentuan gross split dan mengakomodasi kebutuhan pengembangan MNK, menciptakan sistem yang lebih efisien dan transparan bagi semua pihak. Revisi ini diharapkan mampu meningkatkan daya tarik investasi di sektor hulu migas Indonesia. Tujuan utamanya adalah menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan memastikan pembagian keuntungan yang lebih adil antara negara dan investor.