Tuduhan mengerikan mengguncang dunia internasional. Surat kabar Israel, Haaretz, melaporkan adanya perintah dari perwira militer Israel (IDF) untuk menarget dan menembak warga Palestina tidak bersenjata di lokasi distribusi bantuan di Jalur Gaza. Laporan ini, yang muncul pada 27 Juni 2025, mengungkapkan sebuah gambaran mengerikan tentang pelanggaran hak asasi manusia di wilayah konflik yang sudah lama bergejolak tersebut. Peristiwa ini menimbulkan kekhawatiran serius dan menuntut penyelidikan menyeluruh.
Tuduhan Penargetan Sengaja Warga Sipil di Gaza
Laporan Haaretz mengutip kesaksian anonim tentara Israel yang bertugas di Gaza. Mereka mengaku menerima perintah untuk menembak warga sipil yang berkumpul di dekat pusat-pusat bantuan, meskipun warga tersebut tidak menimbulkan ancaman. Salah satu tentara bahkan menyatakan IDF telah melanggar kode etik.
Tuduhan ini sangat serius. Ini bukan sekadar insiden terisolasi, melainkan indikasi adanya pola perilaku yang sistematis. Jaksa Agung Militer Israel telah merespon dengan membentuk tim pencari fakta internal IDF untuk menyelidiki dugaan kejahatan perang. Hasil penyelidikan ini sangat dinantikan dan akan menentukan langkah hukum selanjutnya.
Konsekuensi Kematian dan Krisis Kemanusiaan di Gaza
Situasi di lapangan semakin mengkhawatirkan. Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) melaporkan setidaknya 410 orang tewas sejak 27 Mei 2025 saat berusaha mendapatkan bantuan kemanusiaan. Korban jiwa ini terjadi di pusat-pusat distribusi yang dioperasikan oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF).
Penolakan Israel untuk bekerja sama dengan Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) memperburuk krisis kemanusiaan. Sejak awal 2024, Israel telah melarang total aktivitas UNRWA di wilayahnya, menyusul tuduhan keterlibatan beberapa staf UNRWA dalam serangan Hamas pada Oktober 2023. PBB membantah tuduhan tersebut dengan alasan kurangnya bukti.
Distribusi Bantuan Alternatif dan Risiko yang Dihadapi Warga Sipil
Sebagai alternatif, Israel dan GHF yang didukung AS membuka titik distribusi bantuan. Namun, proses penyaluran bantuan ini justru menjadi medan perang baru. Warga Palestina yang putus asa mencari makanan kerap menjadi sasaran serangan mematikan. Hal ini memperlihatkan kegagalan sistematis dalam melindungi warga sipil selama distribusi bantuan kemanusiaan.
Respon Internasional dan Masa Depan Bantuan Kemanusiaan di Gaza
Serangan Israel di Jalur Gaza yang berlanjut sejak 18 Maret 2025, dengan dalih penolakan Hamas terhadap proposal gencatan senjata, semakin memperumit situasi. Meskipun Israel sempat menyatakan akan melanjutkan pengiriman bantuan kemanusiaan melalui jalur yang dikendalikan militernya, langkah ini justru menuai kritik tajam.
Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, pada 20 Mei 2025, menuduh Israel menggunakan bantuan kemanusiaan sebagai alat untuk memindahkan paksa warga Palestina. Tuduhan ini memperkuat anggapan bahwa krisis kemanusiaan di Gaza bukan sekadar kelangkaan sumber daya, melainkan juga akibat dari kebijakan politik yang merugikan warga sipil.
Peristiwa ini menggarisbawahi pentingnya pengawasan internasional yang ketat terhadap situasi di Gaza. Kegagalan dalam melindungi warga sipil yang rentan selama proses distribusi bantuan kemanusiaan merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Investigasi yang independen dan transparan sangat penting untuk memastikan pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia dan mencegah tragedi serupa terjadi di masa depan. Kepercayaan internasional terhadap mekanisme bantuan kemanusiaan sedang diuji, dan dibutuhkan langkah-langkah konkrit untuk memastikan bantuan tersebut sampai kepada mereka yang membutuhkan tanpa mengorbankan nyawa manusia.