Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) menunjukkan penguatan yang cukup signifikan di tengah ketidakpastian ekonomi global. Faktor-faktor seperti perang dagang, dinamika tarif, dan konflik geopolitik seharusnya berdampak negatif, namun rupiah justru menguat. Bank Indonesia (BI) mengungkap beberapa faktor kunci di balik fenomena ini.
Penguatan rupiah ini terjadi meskipun terdapat tantangan global yang cukup kompleks. Hal ini menunjukkan ketahanan ekonomi Indonesia di tengah gejolak internasional.
Aliran Modal Asing yang Positif
Salah satu faktor utama penguatan rupiah adalah masuknya modal asing ke Surat Berharga Negara (SBN). Sejak awal hingga pertengahan Juni 2025, investasi asing di SBN mencapai angka Rp 11 triliun, menambah total investasi asing di SBN sepanjang tahun 2025 menjadi Rp 43,5 triliun.
Meskipun terdapat aliran modal asing keluar (outflow) dari pasar saham dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), jumlahnya relatif kecil, sekitar Rp 3 triliun dan Rp 5 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa dampak negatifnya masih dapat diatasi oleh arus modal asing positif ke SBN.
Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menjelaskan bahwa imbal hasil (yield) SBN Indonesia masih menarik bagi investor asing. Yield SBN tenor 2 tahun mencapai 6,13 persen, sementara tenor 10 tahun berada di angka 6,71 persen. Hal ini membuat Indonesia tetap menjadi tujuan investasi yang menarik di tengah ketidakpastian global.
Kebijakan Devisa Hasil Ekspor dan Stabilitas Pasar
Selain investasi asing, peningkatan konversi valas ke rupiah oleh eksportir juga turut berkontribusi pada penguatan rupiah. Kebijakan pemerintah yang memperkuat Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) berperan penting dalam hal ini.
BI juga aktif menjaga stabilitas pasar melalui berbagai intervensi. Operasi pasar terbuka, termasuk intervensi di pasar Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), pasar spot, dan SBN, dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan meningkatkan likuiditas pasar.
Pembelian SBN oleh BI hingga saat ini telah mencapai Rp 124 triliun. Intervensi ini menunjukkan komitmen BI dalam menjaga stabilitas ekonomi domestik.
Risiko Global dan Antisipasi Bank Indonesia
Meskipun rupiah menguat, BI tetap mewaspadai beberapa risiko global. Kenaikan tarif dagang dan eskalasi konflik geopolitik, terutama di Timur Tengah, masih menjadi potensi ancaman terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.
BI menyatakan optimisme dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Kombinasi dari arus modal asing yang positif, kebijakan pemerintah yang mendukung, dan intervensi pasar yang tepat sasaran menjadi kunci keberhasilan ini.
Suku bunga SRBI juga berperan dalam menjaga daya tarik investasi. Suku bunga untuk tenor 6, 9, dan 13 bulan masing-masing sebesar 6,22 persen, 6,26 persen, dan 6,27 persen. Angka-angka ini menunjukkan upaya BI dalam mengelola likuiditas dan menjaga stabilitas moneter.
Ke depannya, BI akan terus memantau perkembangan ekonomi global dan domestik dengan cermat. Langkah-langkah antisipatif akan terus dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan. Kinerja positif ini menandakan ketahanan ekonomi Indonesia dan kemampuan BI dalam mengelola tantangan ekonomi global.