Nasib jutaan pekerja di sektor transportasi online di Indonesia masih menggantung. Ketidakpastian hukum yang berkepanjangan membuat iklim usaha dan investasi di sektor ini terancam. Pemerintah dan DPR hingga kini belum juga menetapkan regulasi yang jelas.
Lambannya revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) menjadi akar masalahnya. Persoalan internal antar kementerian dan lembaga menjadi penghambat utama.
Perselisihan Antar Kementerian Menghambat Regulasi Transportasi Online
Rancangan perubahan UU LLAJ telah masuk Prolegnas sejak 2019. Namun, revisi terus terhambat. Perselisihan kepentingan antara Kementerian Perhubungan dan Kepolisian menjadi salah satu penyebabnya.
Kedua institusi ini memiliki kepentingan langsung terhadap UU LLAJ. Salah satu poin perselisihan adalah mengenai aturan over dimension over load (ODOL) dan muatan truk barang antar daerah.
Masing-masing kementerian dan lembaga memiliki aturan sendiri. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan dan inkonsistensi dalam penerapan regulasi.
Selain itu, perubahan UU juga memicu perebutan kewenangan dalam sistem lalu lintas dan angkutan jalan. Hal ini semakin memperumit proses revisi.
Kegagalan revisi UU LLAJ berdampak luas. Selain persoalan kewenangan, hal ini juga berdampak pada keselamatan publik karena tingginya angka kecelakaan akibat ODOL. Lebih jauh, ketidakpastian hukum juga berimbas pada sektor transportasi online.
Demo Ojol dan Tuntutan Regulasi yang Adil
Dengan mandeknya revisi UU LLAJ, muncul RUU Transportasi Online yang mulai dibahas DPR pada Mei 2025. Pembahasan RUU ini mendapat perhatian serius dari para pengemudi ojol.
Pada 20 Mei 2025, mereka menggelar demonstrasi menuntut keadilan dalam regulasi. Salah satu tuntutannya adalah pengurangan potongan harga aplikasi dari 20 persen menjadi 10 persen.
Para pengemudi juga menginginkan kepastian status mereka, apakah sebagai mitra aplikator atau pegawai. Status mitra memberikan fleksibilitas, tetapi juga rentan terhadap ketidakpastian.
Tuntutan untuk menjadi pegawai dinilai akan menghilangkan fleksibilitas. Perusahaan akan melakukan rasionalisasi pegawai, mengurangi jumlah pengemudi sesuai kebutuhan.
Pengamat Angkutan Online, Peter Abdullah, mengatakan jika tuntutan itu diterima, maka driver tidak lagi menjadi pekerja bebas, dan perusahaan akan menjadi perusahaan biasa.
Urgensi Pengesahan Regulasi Transportasi Online
Demo ojol menjadi momentum politik. Politisi memanfaatkannya untuk mengidentifikasi masalah. Namun, tidak sedikit yang menggunakannya untuk tujuan politik.
Pembentukan RUU yang awalnya bertujuan untuk kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, berpotensi menjadi ajang perebutan kepentingan.
Tuntutan pengemudi ojol sebenarnya tidak rumit: kesejahteraan dan pengurangan potongan aplikasi. Pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan aspirasi ini.
Regulasi yang jelas dibutuhkan untuk menciptakan kepastian hukum bagi pengemudi dan aplikator. Regulasi yang berbelit-belit hanya akan menghambat investasi.
Saat ini, Keputusan Menteri Perhubungan 1001 Tahun 2022 menjadi acuan. Namun, keputusan menteri ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Transportasi online telah menjadi industri penting di Indonesia. Industri ini telah berkontribusi besar terhadap PDB dan menyerap jutaan tenaga kerja.
Pemerintah wajib melindungi dan menyejahterakan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Pengesahan UU Transportasi Online segera adalah langkah krusial.
Dengan regulasi yang komprehensif dan adil, Indonesia dapat memastikan keberlanjutan dan pertumbuhan industri transportasi online yang lebih baik dan berkelanjutan.