Sekitar 4.000 warga Pulau Enggano, Bengkulu, menghadapi krisis ekonomi akibat pendangkalan alur di Pelabuhan Pulau Baai. Kondisi ini telah berlangsung selama delapan bulan, mengakibatkan lumpuhnya aktivitas pengiriman penumpang dan barang, termasuk hasil bumi. Kapal tidak dapat bersandar di pelabuhan, mempengaruhi perekonomian pulau yang bergantung pada perdagangan.
Selama delapan bulan terakhir, kapal-kapal terpaksa melepas jangkar di tengah laut. Penumpang dan barang kemudian dipindahkan ke kapal-kapal kecil, sebuah proses yang memakan waktu berjam-jam dan menambah biaya. Situasi ini telah menyebabkan kerugian signifikan bagi warga Enggano.
Krisis Ekonomi di Enggano: Pelabuhan Pulau Baai yang Lumpuh
KMP Pulo Tello, kapal yang biasanya melayani rute Bengkulu-Enggano, tak mampu merapat ke Pelabuhan Pulau Baai. Kepala Supervisi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Bengkulu membenarkan hal ini. Penumpang harus dipindahkan ke perahu-perahu kecil dari tengah laut.
Akibatnya, pengangkutan hasil bumi seperti pisang, kakao, dan ikan terhambat. Truk dan mobil pikap tidak dapat naik ke kapal karena kapal tak bisa bersandar. Ini membuat hasil panen warga membusuk dan pendapatan mereka merosot drastis.
Dampak Sosial Ekonomi: Kehidupan Warga Terancam
Milson Kaitora, koordinator suku-suku di Enggano, menggambarkan kondisi ekonomi pulau tersebut sebagai lumpuh. Warung-warung sepi, beberapa bahkan sampai tutup karena minimnya pembeli. Ketiadaan uang memaksa warga hidup serba kekurangan.
Meskipun ada perbaikan sementara dalam pelayanan penumpang selama sepekan terakhir, pengangkutan hasil bumi masih terhambat. Petani harus mengeluarkan biaya besar untuk menyewa kapal nelayan demi menjual hasil panen mereka. Yang tidak mampu, hanya bisa pasrah melihat hasil jerih payah mereka membusuk.
Upaya Adaptasi dan Tuntutan Kepada Pemerintah
Warga Enggano terpaksa menerapkan sistem barter untuk bertahan hidup. Ikan ditukar dengan beras, karena uang tak lagi bernilai di pulau tersebut. Banyak warga yang terpaksa berhutang di warung-warung kecil. Beberapa warga bahkan banting setir menjadi buruh bangunan demi penghasilan tambahan.
Rahmawati, seorang ibu rumah tangga di Desa Malakoni, menceritakan kesulitan keluarganya. Mereka terpaksa menukar 1,5 kilogram ikan untuk mendapatkan 1 kilogram beras. Kondisi serupa dialami oleh banyak warga lainnya. Sejumlah warga bahkan terlilit hutang hingga jutaan rupiah.
AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Wilayah Bengkulu mendesak pemerintah untuk memberikan solusi konkret. Mereka menilai pemerintah daerah gagal menangani krisis ini. AMAN meminta pemerintah menyediakan kapal reguler yang mampu mengangkut hasil bumi warga Enggano.
Fahmi Arisandi, Ketua AMAN Wilayah Bengkulu, mengungkapkan potensi kerugian ekonomi mencapai Rp 1,8 miliar per bulan akibat hasil pertanian yang membusuk. Ia menekankan perlunya solusi nyata, bukan sekadar pencitraan. Situasi di Enggano saat ini memprihatinkan dan membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Harapannya, pemerintah segera mengambil tindakan untuk mengatasi masalah ini dan memperbaiki perekonomian warga Enggano.