Sungai Ciliwung, dulunya nadi kehidupan Batavia, kini bertransformasi menjadi denyut nadi Jakarta. Perubahan ini mencerminkan perjalanan panjang kota, dari pusat perdagangan VOC hingga metropolitan modern. Namun, seiring perkembangan, peran ekologis sungai ini semakin terkikis, meninggalkan jejak kompleks permasalahan perkotaan. Artikel ini akan menelusuri transformasi Sungai Ciliwung, dari sumber kehidupan hingga menjadi biang kerok masalah lingkungan dan infrastruktur Jakarta.
Dari Air Kehidupan Jadi Biang Kerok Masalah Perkotaan
Pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Sungai Ciliwung memiliki peran krusial bagi Batavia. Airnya diolah untuk konsumsi rumah tangga dan kebutuhan kapal yang berlabuh di perairan Batavia. Sistem kanal yang dibangun memanfaatkan aliran Ciliwung dan Cisadane, berfungsi sebagai jalur transportasi, penyedia air bersih, dan pengendali banjir. Namun, ketergantungan pada debit air menjadi kelemahan sistem ini.
Sistem kanal ini sangat bergantung pada debit air yang cukup. Jika debit air surut, kanal menjadi kering dan tak berfungsi optimal.
Pada abad ke-19, teknologi artesis mulai digunakan, membuat warga beralih ke sumber air tanah. Hal ini menandai pergeseran ketergantungan pada Sungai Ciliwung sebagai sumber air utama.
Letak strategis Batavia yang dekat dengan muara Ciliwung menjadi daya tarik bagi Belanda. Meskipun kapal besar sulit merapat langsung karena kedangkalan Teluk Jakarta, sungai tetap vital sebagai jalur logistik menggunakan perahu-perahu kecil.
Infrastruktur Saja Tidak Cukup
Pemerintah kolonial kemudian membangun infrastruktur untuk mengelola Ciliwung, seperti pintu air dan sistem pengendali banjir yang lebih kompleks. Kanal barat dari Manggarai dibagi menjadi dua cabang, diatur dengan pintu air yang dibangun sekitar tahun 1919 untuk menanggulangi banjir.
Namun, perubahan drastis terjadi pada Ciliwung. Kanal dan turap kayu digantikan dengan beton. Bantaran sungai yang dulunya ruang terbuka hijau, kini padat pemukiman, banyak yang dibangun tanpa izin.
Modernisasi di era Orde Baru semakin mengabaikan hubungan masyarakat dengan sungai. Pandangan tradisional yang menghormati sungai sebagai makhluk hidup, seperti sesajen, kini hilang tergantikan oleh pembangunan yang agresif.
Kini, air Ciliwung langsung dialirkan ke laut tanpa pemanfaatan lebih lanjut. Bantaran sungai dipenuhi bangunan, baik yang legal maupun liar, yang mengakibatkan fungsi ekologis sungai semakin terabaikan.
Tantangan Kembalikan Nadi Batavia
Tantangan terbesar dalam mengembalikan fungsi Ciliwung bukan hanya teknis, tetapi juga budaya dan perilaku masyarakat. Sungai yang dulunya dihormati kini menjadi tempat pembuangan sampah dan limbah. Kesadaran untuk membebaskan bantaran sungai dari pemukiman masih rendah.
Pemerintah telah menjalankan program normalisasi dan naturalisasi. Namun, upaya ini perlu dukungan kolektif masyarakat untuk membuahkan hasil maksimal. Hal penting adalah menjaga aliran sungai tetap lancar dan mencegah penyumbatan oleh pembangunan baru.
Program normalisasi Ciliwung sepanjang 33,7 km sedang dikebut dengan target selesai pada 2026. Tujuannya untuk mengurangi risiko banjir hingga 40 persen.
Pembebasan lahan menjadi tantangan utama dalam proses normalisasi. Gubernur DKI memastikan proses pembebasan lahan dilakukan tanpa penggusuran, dengan pendekatan humanis dan konsultasi publik.
Pada pertengahan 2025, baru sekitar 17,1 km yang telah selesai. Sisanya terhambat oleh pembebasan lahan di kawasan padat penduduk. Anggaran tambahan disiapkan untuk mempercepat proses ini.
Terlepas dari tantangan tersebut, semangat baru muncul dari masyarakat dan relawan. Komunitas “bersih sungai” aktif melakukan aksi penanaman mangrove dan pengawasan pembangunan ilegal. Upaya ini diharapkan dapat memulihkan ekosistem dan menghidupkan kembali penghormatan terhadap sungai.
Selain normalisasi, infrastruktur penunjang dibangun, seperti dry-dam dan sodetan. Semua upaya ini bertujuan mengembalikan Sungai Ciliwung sebagai nadi kehidupan Jakarta, sebuah proses yang membutuhkan kolaborasi dan kesadaran kolektif. Jalan panjang masih menanti, namun harapan untuk mengembalikan kejayaan Ciliwung tetap menyala.