PT Danantara Asset Management (Persero) atau DAM akan memberikan pinjaman pemegang saham (shareholder loan) senilai Rp 6,65 triliun kepada Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Ini merupakan suntikan dana awal dari total dukungan pendanaan yang ditargetkan mencapai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 16,3 triliun.
Langkah penyelamatan Garuda Indonesia ini menggunakan dana dividen BUMN yang disetor ke BPI Danantara, menimbulkan kontroversi dan sorotan tajam dari berbagai pihak. Penggunaan dana tersebut memicu perdebatan mengenai alokasi sumber daya yang optimal bagi Danantara.
Suntikan Dana Rp 6,65 Triliun untuk Garuda Indonesia: Sebuah Keputusan Kontroversial
Dana segar dari Danantara akan digunakan Garuda Indonesia untuk kebutuhan perawatan, perbaikan, dan overhaul (MRO) pesawat. Namun, alokasi dana dividen BUMN untuk menyelamatkan Garuda menuai kritik.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengungkapkan kekhawatirannya akan potensi moral hazard yang dapat terjadi. Ia menilai langkah ini berisiko tinggi dan dapat menimbulkan masalah di masa mendatang.
Kritik Terhadap Alokasi Dana Dividen BUMN untuk Garuda Indonesia
Bhima Yudhistira mempertanyakan efisiensi alokasi dana dividen BUMN yang seharusnya digunakan untuk investasi dan proyek yang lebih menguntungkan. Ia menilai, Danantara seharusnya fokus pada proyek-proyek yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ekspektasi investor swasta, baik domestik maupun asing, terhadap Danantara sangat berbeda. Mereka berharap Danantara dapat mendanai proyek yang menciptakan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Bukannya terfokus pada pembenahan BUMN yang bermasalah.
Menurut Bhima, penggunaan sumber daya Danantara untuk konsolidasi BUMN yang bermasalah dapat mengurangi efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan utamanya sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Ia khawatir fungsi utama Danantara sebagai “mesin gerak” pertumbuhan ekonomi akan terganggu.
Risiko Moral Hazard dan Pertanyaan Mengenai ROI
Bhima menilai, suntikan dana kepada Garuda Indonesia, yang telah memiliki masalah keuangan jangka panjang, berisiko tinggi. Hal ini dikarenakan potensi moral hazard yang dapat muncul dari tindakan “penyelamatan” tersebut.
Ia mempertanyakan perhitungan return on investment (ROI) dari investasi tersebut. Danantara seharusnya memprioritaskan proyek-proyek yang bankable, yang memiliki kelayakan finansial dan potensi keuntungan yang jelas.
Penggunaan dana dividen untuk restrukturisasi keuangan BUMN yang bermasalah, menurut Bhima, justru bisa kontraproduktif terhadap tujuan utama Danantara. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan matang.
Kondisi ekonomi global yang dinamis, termasuk konflik di Timur Tengah, semakin mempertegas pentingnya peran Danantara sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Penggunaan sumber daya yang tepat sasaran sangat krusial.
Kesimpulannya, keputusan Danantara untuk menyuntik dana ke Garuda Indonesia memicu perdebatan serius. Alokasi dana dividen BUMN menjadi sorotan utama. Potensi moral hazard dan rendahnya ROI menjadi kekhawatiran utama. Ke depan, transparansi dan perencanaan yang matang menjadi kunci keberhasilan Danantara dalam menjalankan perannya sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi nasional.