Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memberikan pandangannya mengenai dampak proyek Giant Sea Wall di Pantai Utara (Pantura). Ia menekankan bahwa proyek ini bukan sekadar pembangunan benteng, melainkan juga integrasi dengan ekosistem mangrove. Mangrove berperan penting dalam menahan abrasi dan banjir rob, menjadikannya bagian integral dari sistem pertahanan pantai.
“Bicara Giant Sea Wall ya, jadi kerangka pemahaman saya bukan hanya benteng, tetapi adalah hamparan pohon mangrove itu adalah bagian dari Giant Sea Wall itu sendiri, karena rob akan tertahan, banjir laut akan tertahan,” ujar Dedi dalam Talkshow di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Proyek Giant Sea Wall senilai Rp 26 triliun ini memicu kekhawatiran akan bentrok dengan proyek revitalisasi tambak di Pantura Jawa Barat. Revitalisasi ini menargetkan 20.413,25 hektare di empat kabupaten: Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu. Proyek ini diharapkan mampu meningkatkan produksi nila salin hingga 1,18 juta ton dengan nilai Rp 30,65 triliun, sekaligus menciptakan lapangan kerja bagi 119.100 orang.
Namun, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, memastikan tidak ada konflik antara kedua proyek tersebut. Ia menjelaskan bahwa revitalisasi tambak bertujuan untuk memperbaiki lingkungan dan infrastruktur yang rusak, mengembalikan kondisi lingkungan ke keadaan semula yang lebih baik.
“(GSW) tidak akan mengganggu terhadap pembangunan atau revitalisasi daripada tambak Pantura ini. Jadi, misi daripada revitalisasi tambak Pantura itu yang pertama adalah memperbaiki lingkungan,” tegas Trenggono. Proyek ini juga bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja baru di industri budidaya nila salin terintegrasi, mulai dari bibit hingga pascapanen, serta mendorong hilirisasi sektor perikanan dengan melibatkan pengusaha swasta.
Menteri Trenggono menambahkan bahwa Giant Sea Wall dirancang dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. Lokasi pembangunan tanggul telah dihitung dengan cermat agar tidak mengganggu ekosistem pantai. Selain berfungsi sebagai penahan arus, proyek ini juga akan dilengkapi dengan infrastruktur pendukung, seperti jalan raya.
Giant Sea Wall: Skala Proyek dan Potensi Dampak
Proyek Giant Sea Wall yang digagas Presiden Prabowo Subianto memiliki skala yang sangat besar, membentang sepanjang 958 kilometer dari Cilegon, Banten hingga Gresik, Jawa Timur. Biaya proyek ini diperkirakan mencapai US$80 miliar atau sekitar Rp 1.304 triliun.
Proyek dengan skala sebesar ini tentu berpotensi menimbulkan dampak signifikan, baik positif maupun negatif. Dampak positifnya antara lain perlindungan kawasan pesisir dari abrasi dan banjir rob, serta peningkatan infrastruktur di sepanjang Pantura. Namun, potensi dampak negatif juga perlu dipertimbangkan secara matang, seperti potensi kerusakan ekosistem laut dan dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat pesisir.
Pertimbangan Lingkungan dan Sosial Ekonomi
Penting untuk melakukan kajian lingkungan hidup yang komprehensif sebelum dan selama pembangunan Giant Sea Wall. Kajian ini harus mencakup potensi dampak terhadap keanekaragaman hayati laut, arus laut, dan kualitas air. Selain itu, perlu dilakukan pula analisis dampak sosial ekonomi terhadap mata pencaharian masyarakat pesisir, terutama nelayan dan petani tambak.
Partisipasi masyarakat pesisir sangat penting dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek ini. Mereka perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan pemantauan dampak lingkungan serta sosial ekonomi. Transparansi informasi juga krusial agar masyarakat dapat memahami manfaat dan risiko proyek ini.
Kesimpulannya, keberhasilan proyek Giant Sea Wall bergantung pada perencanaan yang matang, pertimbangan lingkungan yang komprehensif, dan partisipasi aktif masyarakat. Integrasi dengan proyek revitalisasi tambak harus direncanakan dengan cermat untuk memastikan sinergi yang optimal dan meminimalkan potensi konflik.