Pertumbuhan penjualan ritel di Tiongkok yang melambung baru-baru ini ternyata hanya fenomena sementara. Hal ini diungkapkan oleh Commerzbank AG, sebuah bank asal Jerman, yang dalam studinya menyoroti dampak jangka pendek dari program stimulus pemerintah.
Lonjakan tersebut, walau signifikan, tidak mencerminkan perbaikan ekonomi yang berkelanjutan. Justru sebaliknya, tanda-tanda peringatan mulai tampak, menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dari pemerintah Tiongkok.
Stimulus Pemerintah: Efek Sementara dan Tantangan Jangka Panjang
Studi Commerzbank AG menunjukkan peningkatan penjualan ritel di Tiongkok pada kuartal kedua tahun 2025 mencapai sekitar 6% secara tahunan pada periode April-Mei. Angka ini cukup mengesankan dan mendorong prediksi PDB kuartal kedua melebihi 5%, meningkat dari 5,4% di kuartal pertama.
Namun, Tommy Wu, ekonom senior Commerzbank AG, mengatakan bahwa pertumbuhan ini didorong oleh program stimulus pemerintah, khususnya subsidi trade-in. Efeknya diprediksi tidak akan bertahan lama.
Program subsidi trade-in, yang memberikan insentif pembelian barang-barang besar, mengalami kendala serius. Dana yang dialokasikan hampir habis di awal Juni. Meskipun pemerintah pusat mungkin akan menambah dana, dampak jangka panjangnya diragukan.
Deflasi dan Kelemahan Sektor Swasta: Ancaman Ekonomi Tiongkok
Deflasi yang terus-menerus menjadi tantangan utama perekonomian Tiongkok. Inflasi IHK (Consumer Price Index) mendekati nol, gagal meningkatkan permintaan yang lesu. Kondisi ini diperburuk dengan deflasi IHP (Producer Price Index) yang mencapai minus 3,3% pada Mei.
Deflasi menekan profitabilitas perusahaan. Proporsi perusahaan yang merugi meningkat drastis dari kurang dari 10% pada 2011 menjadi 23% pada 2024, didominasi oleh sektor swasta. Kondisi ini membuat perusahaan enggan merekrut karyawan baru.
Kondisi ini mengindikasikan siklus deflasi yang telah berlangsung sejak 2023 sulit diatasi. Perusahaan terpaksa memangkas harga untuk bertahan, seperti terlihat dalam perang harga di pasar mobil listrik Tiongkok.
Keterbatasan Fiskal dan Perlunya Reformasi Struktural
Pemerintah Tiongkok juga menghadapi keterbatasan fiskal. Meskipun utang pemerintah pusat masih rendah menurut standar internasional (diperkirakan di bawah 30% dari PDB pada 2025), utang pemerintah daerah diproyeksikan melampaui 100% dari PDB.
Meskipun pemerintah pusat dapat mengambil alih sebagian beban utang pemerintah daerah, ada batasannya. Keterbatasan fiskal ini akan menghambat stimulus kebijakan lebih lanjut.
Menurut Wu, masalah kelebihan kapasitas dan lapangan kerja bersifat struktural. Beijing perlu melakukan reformasi dan konsolidasi yang berarti di berbagai industri untuk mengatasi permasalahan ini secara fundamental.
Perbaikan ekonomi Tiongkok membutuhkan lebih dari sekadar stimulus jangka pendek. Reformasi struktural, pengelolaan utang pemerintah daerah yang efektif, dan peningkatan kepercayaan bisnis serta konsumen merupakan kunci untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kesimpulannya, pertumbuhan ekonomi Tiongkok saat ini menghadapi tantangan kompleks. Program stimulus pemerintah memberikan dampak positif sementara, namun perbaikan jangka panjang membutuhkan strategi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan. Reformasi struktural serta penangan deflasi menjadi kunci untuk mengatasi masalah mendasar dan memastikan stabilitas ekonomi negara tersebut.