Jenazah Juliana, pendaki asal Brasil yang meninggal dunia setelah jatuh di Gunung Rinjani, akan diautopsi di Rumah Sakit Bhayangkara Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Autopsi dijadwalkan pada Kamis, 26 Juni 2024, pukul 08.00 WITA.
Setelah proses autopsi selesai, jenazah Juliana akan dibawa ke Denpasar, Bali, melalui jalur darat. Hal ini dikarenakan tidak adanya penerbangan langsung dari Lombok ke Bali. Dari Bali, jenazah baru akan diterbangkan kembali ke Brasil.
“Kalau selesai (autopsi), bisa kita berangkatkan ke Denpasar. Karena tidak ada pesawat dari Lombok ke Bali. Dari Bali, baru dibawa pulang ke negaranya,” jelas Pelaksana Harian Sekretaris Daerah (Sekda) NTB, Lalu Moh. Faozal, mengutip Antara.
Keluarga Juliana akan hadir dalam proses autopsi. Saat ini, mereka masih berada di Sembalun, Lombok Timur, dan Pemprov NTB menanggung seluruh biaya kebutuhan mereka selama di NTB, termasuk fasilitas ambulans dan transportasi.
Insiden jatuhnya Juliana terjadi pada Sabtu, 21 Juni 2024, di lereng Gunung Rinjani. Pencarian intensif dilakukan oleh tim SAR gabungan hingga akhirnya jenazah ditemukan pada Selasa, 24 Juni 2024, di kedalaman 600 meter dari titik lokasi kejadian (LKP).
Evakuasi jenazah dilakukan dengan penuh tantangan mengingat kondisi cuaca yang kurang bersahabat. Tim SAR berhasil mengevakuasi jenazah Juliana tanpa bantuan helikopter. Jenazah ditandu dari Pos Pelawangan menuju Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR).
Proses evakuasi jenazah Juliana dari Gunung Rinjani menjadi sorotan karena medan yang sulit dan cuaca buruk. Keberhasilan tim SAR gabungan dalam mengevakuasi jenazah tanpa bantuan helikopter patut diapresiasi. Hal ini menunjukkan dedikasi dan profesionalisme tim SAR dalam menjalankan tugasnya.
Kejadian ini juga menyoroti pentingnya keselamatan pendaki saat melakukan pendakian di Gunung Rinjani. Pihak berwenang perlu terus meningkatkan upaya sosialisasi dan edukasi terkait keselamatan pendakian, termasuk persiapan yang matang, pengetahuan tentang medan, serta pentingnya mematuhi aturan dan imbauan yang telah ditetapkan.
Selain itu, perlu dipertimbangkan pula peningkatan infrastruktur pendukung pendakian, seperti fasilitas komunikasi dan evakuasi yang lebih memadai, guna meminimalisir risiko kecelakaan dan mempercepat proses evakuasi jika terjadi insiden.
Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi para pendaki dan pihak terkait untuk senantiasa memprioritaskan keselamatan dan keamanan dalam kegiatan pendakian.
Pemerintah Provinsi NTB patut diapresiasi atas komitmennya dalam membantu keluarga korban, baik dalam hal evakuasi maupun pembiayaan selama proses tersebut. Hal ini menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap keselamatan dan kesejahteraan warga negara asing yang mengalami musibah di wilayahnya.