Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menghukum Agnez Mo membayar Rp 1,5 miliar kepada Ari Bias atas sengketa hak cipta lagu “Bilang Saja” menuai kontroversi. Koalisi Advokat Pemantau Peradilan menilai putusan tersebut melanggar Undang-Undang Hak Cipta dan kode etik peradilan. Mereka mengajukan sejumlah argumen kuat yang perlu dikaji lebih lanjut. Kasus ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai penerapan hukum hak cipta di Indonesia, khususnya terkait peran Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Dugaan Pelanggaran UU Hak Cipta
Koalisi Advokat Pemantau Peradilan berpendapat hakim mengabaikan Pasal 23 ayat (5) dan Pasal 87 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasal 23 ayat (5) menyebutkan penggunaan komersial ciptaan dalam pertunjukan dapat dilakukan dengan membayar imbalan melalui LMK, tanpa izin langsung pencipta.
Pasal 87 ayat (2) menjelaskan pengguna hak cipta wajib membayar royalti kepada pencipta melalui LMK. Koalisi menegaskan seharusnya LMK, bukan Agnez Mo sebagai penyanyi, yang bertanggung jawab membayar royalti kepada Ari Bias. Hakim dinilai keliru membebankan kewajiban pembayaran langsung kepada Agnez Mo.
Pengabaian Keterangan Ahli
Selain itu, Koalisi juga menyoroti pengabaian keterangan ahli dari pihak tergugat, Iqbal Taufik, analis ahli muda Dirjen Kekayaan Intelektual. Hal ini dianggap sebagai pelanggaran prinsip-prinsip hukum yang adil dan obyektif. Pengabaian keterangan ahli tersebut semakin memperkuat dugaan adanya penyimpangan prosedur hukum dalam persidangan.
Ketidakhadiran keterangan ahli yang independen dan kredibel menyebabkan putusan hakim menjadi rawan kontroversi dan dianggap tidak berdasar pada fakta-fakta hukum yang komprehensif. Proses hukum yang seharusnya berdasarkan bukti dan keterangan ahli, dianggap telah diabaikan.
Tuntutan Penyelidikan Etik
Menanggapi temuan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan, Komisi III DPR meminta Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) untuk menyelidiki dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam kasus ini. Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyampaikan permintaan tersebut secara resmi.
Permintaan penyelidikan ini menunjukan keprihatinan DPR terhadap putusan kontroversial tersebut. Proses hukum yang transparan dan akuntabel sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Hasil penyelidikan Bawas MA sangat dinantikan untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum terwujud.
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU), turut hadir perwakilan Dirjen Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum, Bawas MA, dan penyanyi Tantri Kotak. Kehadiran mereka menunjukkan tingginya perhatian publik terhadap kasus ini dan dampaknya terhadap industri musik Indonesia.
Kasus Agnez Mo ini menjadi sorotan publik dan para ahli hukum. Ini menjadi momentum untuk mengevaluasi implementasi UU Hak Cipta dan memastikan perlindungan hak cipta berjalan efektif dan adil bagi semua pihak. Harapannya, hasil penyelidikan Bawas MA dapat memberikan kejelasan dan mencegah terulangnya kejadian serupa.